Ironisnya,  semakin  banyak  orang  yang  menuntut  pengakuan,  semakin  sulit  untuk  mencapainya.  Inilah  paradoks  pengakuan.  Ketika  setiap  kelompok  berteriak  menuntut  haknya,  suara-suara  yang  moderat  dan  menyerukan  dialog  justru  tenggelam  dalam  kebisingan.
Nancy  Fraser,  seorang  filsuf  politik  feminis,  menjelaskan  bahwa  ada  tiga  dimensi  pengakuan:  pengakuan  atas  kebutuhan material,  pengakuan  atas  hak  dan  kewajiban,  dan  pengakuan  atas  identitas  budaya.  Ketiga  dimensi  ini  saling  berkaitan  dan harus  dipenuhi  secara  seimbang  untuk  mencapai  keadilan  sosial.
Hanya saja dalam  politik  identitas  yang  didominasi  oleh  megalothymia,  pengakuan  atas  identitas  budaya  sering  kali  diprioritaskan di  atas  dua  dimensi  lainnya.  Akibatnya,  isu-isu  ekonomi  dan  sosial  yang  mendasar  terabaikan,  sementara  perdebatan  tentang identitas  semakin  memanas.
Dampak  Negatif  Politik  Identitas
Polarisasi  adalah  salah  satu  dampak  negatif  politik  identitas.  Data  dari  Pew  Research  Center  (2024) menunjukkan  bahwa  di Amerika  Serikat,  mayoritas  warga  melihat  lawan  politik  mereka  sebagai  ancaman  eksistensial.  Hal  serupa  juga  terjadi  di Indonesia,  di  mana  ketegangan  politik  semakin  meningkat  di  era  media  sosial.
Konflik  berbasis  identitas  juga  semakin  marak  di  berbagai  belahan  dunia.  Data  dari  Global  Peace  Index  (2024) menunjukkan bahwa  perdamaian  global  telah  menurun  selama  15  tahun  berturut-turut.  Konflik  etnis,  agama,  dan  politik  menjadi  penyebab utama  kekerasan  dan  ketidakstabilan  di  banyak  negara.
Isothymia di Tengah Riuh
Tahun 2024 adalah panggung bagi kegelisahan. Suara-suara besar, menggema, berlomba mendominasi udara sebuah parade megalothymia yang terus bertumbuh, liar, menyebar. Masing-masing mengklaim ruangnya, tak ada yang mau mengalah. Ketika polarisasi sosial kian menancapkan kukunya, kita terjebak dalam lingkaran ego kelompok, seperti cermin retak yang tak lagi memantulkan bayangan utuh. Setiap sisi memecah-mecah, memisahkan yang satu dari yang lain. Di sinilah harapan itu tersembunyi, mungkin samar, tapi ia ada: isothymia.
Isothymia bukanlah suara yang keras. Ia tidak menyelinap masuk dalam balutan gemuruh massa yang beringas. Ia lebih mirip bisikan—halus, mengendap dalam relung hati yang tertutup amarah dan prasangka. Sederhana, tapi dalam; isothymia adalah keinginan untuk diakui sebagai setara, bukan lebih, bukan kurang, sekadar manusia dengan manusia lain.
Tetapi pertanyaanya apakah ada tempat bagi isothymia di dunia yang terbelah? Pada tahun 2024 ini, isothymia adalah utopia yang tersembunyi di balik kabut realitas. Polarisasi tak hanya menjadi gejala sosial ia telah menjadi bahasa kehidupan sehari-hari. Di Amerika, di Eropa, di Asia terutama di Indonesia setiap belahan dunia merasakan renggutan identitas yang kian kencang. Diskursus politik memanas, suara-suara yang menuntut superioritas menggulung siapa saja yang dianggap berbeda. Di bawah langit yang sama, kita hidup dalam dunia yang penuh dengan tembok—tembok fisik, tembok psikologis, tembok digital.
Meski tampak kecil, isothymia adalah kekuatan yang bisa meruntuhkan tembok polarisasi. Ia menawarkan visi baru tentang bagaimana kita bisa hidup bersama dalam harmoni tanpa menghilangkan perbedaan. Ia adalah benih yang, meski sering luput dari perhatian, perlahan tumbuh di bawah tanah yang kering. Di antara segala kebisingan dan konflik, isothymia adalah harapan yang terus hidup, menunggu saatnya untuk tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi semua orang di bawahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H