Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

"Sunrise of Java", Asita DK: dari Alam hingga Seni, Yuk Kenali Keindahannya Lewat Buku Banyuwangi

19 Juni 2023   09:26 Diperbarui: 26 Juni 2023   15:15 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Legenda nama kota Banyuwangi

Konon, daerah paling Timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah, dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia dibantu oleh seorang Patih yang gagah berani, arif, dan tampan yang bernama Patih Sidopekso.

Istri Patih tersebut bernama Sri Tanjung. Ia memiliki paras yang sangat elok dan budi bahasa yang halus. Hal ini membuat sang Raja tergila-gila padanya.

Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung, maka muncullah akal liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa.

Tanpa curiga, Patih itu dengan tegas dan berani berangkat menjalankan titah sang raja.

Sayangnya, sepeninggalan Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo perlahan-lahan mulai diperlihatkan. Dengan segala tipu dayanya, ia merayu Sri Tanjung.

Beruntungnya Patih Sidopekso, Sri Tanjung menolak rayuan raja dan tetap berteguh pada pendiriannya. Malahan, ia menunjukkan sikap menjadi istri yang baik dengan terus mendoakan sang suami.

Penolakannya membuat raja berang!

Ketika Patih Sidopekso kembali, raja kembali menyusun akal busuk. Ia mengadu domba rumah tangga sang Patih dengan mengatakan bahwa istrinya, Sri Tanjung, mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan sang raja.

Patih marah besar. Ia menyeret istrinya ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Di sanalah ia berniat untuk membunuh istrinya.

Sebelum ia dibunuh, Sri Tanjung sempat meninggalkan pesan sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiaannya, ia rela dibunuh asalkan jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu.

Bila darahnya membuat air sungai berbau busuk, maka betullah dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai yang keruh dan kumuh itu berbau harum, maka ia tidaklah bersalah.

Patih Sidopekso tak mampu lagi menahan diri, ia menikam kerisnya ke dada sri Tanjung. Lalu darah memercik dari tubuh istrinya itu dan ia mati seketika.

Sesuai pesan istrinya, jasad Sri Tanjungpun diceburkan ke sungai. Anehnya, sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi sejernih kaca dan menyebarkan aroma harum dan semerbak mewangi.

Patih yang dilanda amarah perlahan mulai linglung, terhuyung dan jatuh. Ia kemudian berteriak "Banyuwangi! Banyuwangi! Banyuwangi!"

Banyu sendiri berarti air dan wangi memiliki arti harum. Air keruh itu mendadak jernih dan harum seketika usai jasad sang istri yang dibunuhnya, diceburkan ke sana. Bukti bahwa sungguhlah istrinya itu tak melakukan hal yang dituduhkan padanya.  

Sejak itulah, tempat tersebut bernama Banyuwangi.

Legenda ini kembali aku nikmati lewat buku Banyuwangi "Sunrise of Java" milik Asita DK. 

Cantiknya Banyuwangi, bikin mau berkunjung lagi

Tahun lalu, aku cukup beruntung terpilih dari ratusan orang pendaftar untuk melakukan off road komunitas dari titik keberangkatan di Jakarta, hingga ujung Timur Pulau Jawa, Banyuwangi sana.

Tiap titik perhentian tak putus aku takjub dengan setiap keunikan dan keindahan yang ditawarkan. Tapi puncak kekaguman justeru ada di akhir perjalanan.

Hari ke tujuah, akhirnya kami menjajakan kaki di Banyuwangi. Ada celutukan yang bilang, jagoan emang datangnya belakangan. Di sanalah kami subuh-subuh, di gerbang bertuliskan "Taman Nasional Baluran".

Kami yang masih berselimutkan kantuk, lupa, bahwa kami sedang menapakkan kaki di "rumah matahari terbit".

Benar saja, di tengah perjalanan menuju Savana Bekol, saat matahari pelan-pelan memunculkan diri dengan warnanya yang keemasan, suasana mulai terasa berbeda. Orang lokal menyebut tempat ini Africa Van Java.

Di bawah hamparan cahaya matahari pagi yang berserak ke segala arah, kami justeru disuguhkan dengan gugusan rusa yang bersantai bermandi cahaya di sana.

Sambil mengendap-endap, kami merapatkan posisi ke arah kelompok rusa tersebut, berusaha membuat mereka agar tak kaget dan ketakutan.

Namun di satu waktu, setelah tim dokumentasi berhasil mengabadikan sejumlah momen, rusa-rusa itu tiba-tiba lari berhamburan masih dengan matahari yang terbit lagi cantik-cantiknya. Tidak heran kalau orang menggambarkan tempat ini miniatur Africa, magic, misterius dan mewah di saat yang bersamaan.

Kalau mau lebih dapet feel Africanya, sebaiknya memang datang saat musim kemarau tiba, sekitaran Oktober. Waktu dimana hewan-hewan liar sedang memasuki masa kawin. Pada masa ini, jika beruntung, pengunjung akan mendapatkan kesempatan sajian pertarungan atau laga hewan-hewan jantan.

Bukan hanya Savana Bekol, kami juga dibawa main ke kampung wisata Osing Kemiren dan melihat-lihat patung tari yang mudah ditemui di sana.

Ya, bicara Banyuwangi, cakupannya luas sekali. Dari alam hingga seni. Sekali datang ke tempat ini, dengan magisnya, kita dipaksa untuk kembali.

Jelajah Banyuwangi, lewat buku "Banyuwangi, Sunrise of Java" karya Asita DK

Benar kataku, sekali menapakkan kaki di kota ini, akan keterusan untuk kembali, lagi dan lagi. Seperti kata Asita DK, tak cuma sekali dua kali, tak terhitung lagi banyaknya ia datang berkunjung ke kota ini.

Kecintaan dan perjalanannya ke Banyuwangi, kemudian dirangkum dalam sebuah buku berjudul serupa "Banyuwangi, Sunrise of Java".

Buku ini diharapkan dapat menjadi panduan para wisatawan sebelum melakukan perjalanan ke Banyuwangi, terutama bagi mereka yang belum mengetahui cara ke kota ini dan mengatur perjalanannya.

Sebagai orang yang buta informasi akan Banyuwangi, buku ini sangat membantu memberikan sejumlah informasi, terutama memaksimalkan destinasi wisata alam bagi yang ingin fokus jelajah alam.

Lewat buku ini, Asita DK bercerita, bahwa di Banyuwangi, kamu tak hanya bisa menikmati Savana Bekol dan De Djwatan. Ada pula Kawah Ijen yang tak bisa kamu lewatkan, Pulau Merah, Bangsring underwater bagi kamu pecinta wisata bawah air, hingga Teluk Hijau yang airnya memantulkan warna seindah namanya.

Bukan cuma destinasi wisata pula, dalam bukunya, Asita juga turut "membocorkan" pilihan kuliner selama berada di kota matahari terbit ini yang tentu sangat cocok bagi kamu yang lebih suka memanjakan lidah alih-alih berburu kecantikan alamnya.

Intip tarian gandrung di Kampung Wisata Osing Desa Kemiren

Selain wisata alamnya, kota ini juga kaya akan seni. Dalam buku Banyuwangi, "Sunrise of Java" ini, Asita bahkan membuka kisah dengan kenangan masa kecilnya tentang Tari Gandrung yang sering dilihatnya saat perhelatan pesta-pesta perkawinan di kampungnya dulu yang bernama Perkebunan Treblasala, Glenmore, Banyuwangi.

Oleh Sigit Pramono yang memiliki jiwa seni tinggi, penari-penari Gandrung ini kemudian "diduplikasi" dalam bentuk Patung Gandrung yang bisa kamu nikmati di Taman Terakota yang hanya berjarak sekitar 2 Km dari pintu gerbang kawasan Gunung Ijen. Salah satu destinasi wisata yang tentu sayang sekali dilewatkan oleh kamu pecinta seni.

Bila kamu ingin melihat langsung tarian Gandrung, kamu juga bisa berkunjung ke Kampung Wisata Osing Desa Kemiren. 

Bingung cara ke Banyuwangi? Intip tipsnya di buku ini

Bukan hanya mengulas destinasi alam saja, dalam bukunya Banyuwangi, Sunrise of Java, Asita juga mempermudah kamu dengan memberikan gambaran biaya perjalanan ke Banyuwangi hingga daftar agent travel and tour di kota ini. Kamu juga akan dipermudah dengan rekomendasi jadwal perjalanan selama 2, 3 hingga 4 hari di Banyuwangi.

Ngga usah bingung urusan oleh-oleh, sebab di buku ini, kamu juga akan menemukan daftar pusat toko oleh-oleh di Banyuwangi.

Menarik kan? Menguliti isi Banyuwangi hanya dari ujung jari lewat buku Banyuwangi, "Sunrise of Java" milik Ibu Asita DK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun