Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sambut Kurikulum Merdeka, Selamat Datang di Era Keadilan dalam Belajar

2 April 2023   23:57 Diperbarui: 3 April 2023   00:28 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jargon "Anak pintar makin pintar, anak bodoh kian terbelakang"

Akhir tahun 2021, saya kembali bertemu dengan sejumlah teman sekolah dulu. Seru sekali. Laki-laki berburu ikan mas di kolam, perempuan menyiapkan bumbu. Lalu tak lama ikan mas yang sudah berhasil ditangkap, kami bakar bersama-sama.

Ya, momen seperti ini adalah waktu yang paling tepat bercerita sambil menunggu makanan jadi dan tersedia.

Kami melakukannya, flashback ke masa-masa sekolah, sambil tertawa dan sesekali kembali merasakan getaran marah saat cerita bersinggungan dengan guru yang dulu terlalu menyebalkan versi kami kala remaja itu.

Guru matematika! Sudahlah pelajarannya sulit dicerna, Bapaknya galak ngga kira-kira, suka ngasih hukuman pula. Gimana kami ngga makin benci padanya?

Sepertinya memang beliau menarget beberapa siswa yang kemampuannya kurang di mata pelajaran tersebut. Siswa itu kerap dipanggil ke depan dan diberi perintah untuk mengerjakan soal tertentu di papan tulis persis di depan siswa-siswi lainnya.

Kalau tidak bisa, siswa tersebut akan disuruh berdiri sepanjang pelajaran berlangsung, belum lagi ada tambahan libas-libas di betis ini. Terang saja malunya tidak ada lawan.

Anehnya, ke dia si anak emas, guru ini akan bertutur lembut. Meminta dengan halus bila ingin soal dikerjakan di depan kelas.

Benar, jawabannya selalu benar. Itu kenapa, si anak emas itu selalu jadi primadona baginya di kelas.

Perbedaan lainnya akan terlihat jelas saat bertanya. Kala si anak emas bertanya, cara menjelaskannya akan sama. Tutur lembut dan halus sampai anak itu paham betul. Sedang bila yang pemahamannya kurang, guru ini akan berbicara ketus, keras, nada suara naik beberapa oktaf.

Daripada bolak balik dibentak, kadang beberapa dari kami memutuskan untuk diam dalam ketidaktahuan. Mending pura-pura ngerti daripada dipermalukan di depan teman-teman.

Jadi akhirnya jargon yang pernah saya dengar itu memang benar, anak pintar makin pintar, anak bodoh kian terbelakang.

Tapi, apakah benar ada anak yang bodoh?

Sambut Kurikulum Merdeka, selamat datang di era keadilan dalam belajar

Saya percaya, setiap anak memiliki talenta. Bila tak matematika, mungkin ia jago di bahasa. Bila tak di fisika, mungkin ia jago seni atau olahraga. Hanya, bagaimana guru dan orang tua berkolaborasi menemukan talenta tersebut agar bisa dikembangkan lebih maksimal.

Saya jadi kepikiran, betapa serunya bila penerapan kurikulum merdeka sudah ada sejak zaman saya sekolah.

Dilansir dari laman kemdikbud, kurikulum merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.

Kabar baiknya, Kurikulum Merdeka sudah diterapkan oleh Kepala Sekolah dan guru di lebih dari 140.000 satuan pendidikan tahun ajaran 2022/2023.

Memang, di tahun ajaran 2023/2024, Kurikulum Merdeka masih menjadi sebuah kurikulum yang ditawarkan sebagai salah satu pilihan bagi satuan pendidikan sebelum tahun ajaran 2024/2025 ditetapkan jadi kurikulum nasional, namun, ini beberapa alasan mengapa saya berharap Kurikulum Merdeka ini hadir sejak saya sekolah dulu.

Fokus pada materi esensial

Masih ingat dengan si anak pintar dan bodoh?

Lewat kurikulum ini, saya percaya potensi anak yang berbeda-beda akan terdeteksi sejak dini.

Dalam Kurikulum Merdeka, guru tak perlu buru-buru mengajar sehingga bisa lebih memperhatikan proses belajar murid dan menerapkan pembelajaran yang mendalam.

Guru juga tak hanya bergantung pada satu buku teks saja, namun bisa juga menggunakan buku teks dari jenjang kelas lebih tinggi atau lebih rendah sesuai kebutuhan belajar muridnya.

Mungkin bila dulu ini diterapkan, bisa saja si anak yang dianggap tak paham matematika itu hanya belum menemukan titik pahamnya saja. Ia hanya butuh waktu yang lebih panjang untuk mengerti dengan yang diajarkan.

Atau bila memang sulit diterima, Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan merdeka belajar untuk menggunakan dan atau memodifikasi berbagai sumber lain selain buku teks termasuk yang sudah disediakan di platform merdeka mengajar.

Ya, pemerintah tak hanya serta merta mengeluarkan kurikulum baru begitu saja.

Pemerintah lewat Kemdikbudristek akan terus mendampingi sekolah-sekolah lewat Unit Pelaksana Teknis di daerah dengan menyediakan berbagai materi pelatihan Merdeka Mengajar salah satunya dengan menyediakan situs resmi sebagai sumber informasi terpercaya tentang Kurikulum Merdeka yang bisa diakses di kurikulum.kemdikbud.go.id, dan kurikulum.gtk.kemdikbud.go.id.

Menyediakan jam pelajaran khusus bagi pengembangan karaktater

Kurikulum Merdeka juga memberikan jam pelajaran khusus bagi pengembangan karakter melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) sebanyak 20-30%.

Ini penting dilakukan sebab anak yang pintar dan karakter yang baik harus sejalan. Dan karakter tak bisa dikembangkan hanya melalui pelajaran akademik di kelas saja.

Tapi tenang, P5 ini tak harus menghasilkan produk kok. Kegiatannya juga tak harus berbiaya besar atau mengandalkan teknologi.

Ukuran keberhasilannya bukan biaya atau kemeriahan kegiatan, tapi pengembangan karakter yang dirasakan oleh siswa seperti berkebinekaan global, bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, mandiri, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, serta berakhlak mulia.

Fleksibel

Yang saya suka, kurikulum ini mengedepankan konsep kemerdekaan dalam proses belajar. Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk merangsang kurikulum operasionalnya sendiri. Dan bagi guru untuk menyesuaikan pembelajran dengan tingkat kemampuan muridnya.

Jadi ngga ada lagi ceritanya si anak dipaksa untuk memahami suatu topik padahal mungkin kemampuannya belum tiba di topik tersebut.

Keduanya sama-sama diuntungkan. Dengan menyesuaikan kemampuan siswanya, guru tak dibebani lagi dengan terlalu banyak materi dan siswa bisa belajar dengan lebih happy.  

Merdeka belajar bukan hanya urusan dokumen dan administrasi

Kurikulum Merdeka bukan hanya sekedar dokumen dan administrasi, tetapi bagaimana kita mendorong perbaikan pembelajaran di kelas untuk semua murid.

Keberhasilan penerapannya tidak ditentukan oleh kelengkapan dokumen atau kepatuhan administrasi yang dinilai pemerintah, namun dampaknya pada proses dan hasil belajar murid.

Sambut Kurikulum Merdeka, untuk keadilan dalam belajar yang lebih terasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun