Lalu, apa jadinya jika seorang perempuan kerap "bermain" dengan sampah? Layakkah ia disebut sebagai ratu?
Amilia Agustin berhasil memutar makna bahwa ratu tak melulu tentang sebuah ajang, tak pula harus jad istri seorang raja.
Ya, adalah seorang Amilia Agustin, kala itu, ia masih duduk di bangku SMA dan berhasil mendapat gelar penghargaan SATU Indonesia Award pada tahun 2010 karena kontribusinya terhadap sanitasi kota Bandung.
Tak jauh dari sekolahnya, ada sebuah Tempat Pembuangan Sampah Sementara Terpadu (TPST) yang menimbun banyak sampah setiap harinya.
Permasalahan sampah memang terus menjadi PR bersama. Selain tak sedap dipandang mata, sampah juga jadi sumber penyakit utama bagi orang-orang di sekelilingnya.
Tak boleh dilupakan pula, tragedi longsoran sampah Leuwigajah, Bandung, pada tahun 2005 silam menyapu dua pemukiman sehingga memakan korban sebanyak 157 jiwa orang.
Pemandangan sampah ini menggugah hatinya, belum lagi, fakta bahwa timbunan sampah yang ada di TPST sebagian adalah sampah sekolahnya, membuat dirinya mencari solusi bagaimana agar penumpukan sampah tersebut bisa berkurang.
Ia dan teman-temannya yang hanya seorang anak SMP di masa itu, mendapati kesulitan menemukan ide. Tak ingin berhenti, mereka memutuskan meminta masukan dari  guru ekstrakurikuler sains club mereka. Bu Nia namanya.
Lewat Bu Nia, satu per satu ilmu mengurangi penumpukan sampah akhirnya ditemukan juga. Mia - Begitu Amilia dikenal - dan teman-temannya kemudian diperkenalkan dengan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB).
Yayasan tersebutlah yang kemudian memberikan pemahaman bagaimana cara membuat kompos dan memilah sampah.
Kabar baiknya, Mia dan teman-temannya bukanlah orang yang pelit ilmu.
Ia membagikan setiap pemahaman baru yang diterimanya kepada warga sekolah dalam bentuk sebuah campaign.