Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Dari Kaki Gunung Pesagi Menembus Pasar Negeri

20 Januari 2022   18:20 Diperbarui: 20 Januari 2022   18:28 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses produksi Kobusta Kopi | Foto: Mutia

"Siapa sih yang mau beli? Semua juga punya." Begitu kurang lebih selenting nada kurang sedap yang mampir ke telinganya tentang usaha yang tengah digeluti.

Tumbuh besar di wilayah kebun kopi percontohan, tepatnya di kaki gunung Pesagi, Pekon Sukarami, Kecamatan Balik Bukit, Liwa, Lampung Barat, adalah satu tantangan tersendiri ketika tercetus keinginan untuk mendirikan bisnis yang fokus pada penjualan kopi dalam kemasan lebih berkreasi.

Inilah yang dirasakan Mutia Putri Sela. Keinginannya untuk merintis bisnis tidak bisa dikatakan mulus sebab pandangan sebelah mata oleh warga sekitar sempat menyelimuti di awal perjalanan menghadirkan produk yang kini menjadi kebanggaannya, Kobusta Kopi si bubuk kopi robusta dari kaki gunung Pesagi.

Tidak heran. Hampir semua warga di sana memang petani kopi. Bila dipikirkan, betul saja, dikemas sedemikian rupa memang untuk apa? Semua warga di sana juga punya, bisa menyeduh sendiri dari hasil panen kopi pribadi. Belum lagi, di daerah yang sama, penjual kopipun sudah menjamur.

Tapi tidak dengan Mutia. Pikiran sederhana itu kembali diramu secara matang dari sudut pandang yang berbeda.

Memahami bahwa tahun 2020 saja, Indonesia masih dihuni sebanyak 273.5 juta jiwa menjadi pegangannya untuk terus maju membangun yang diyakininya. Kini, kopi dari kaki gunung Pesagi itu, siap menembus pasar negeri. Bersaing dengan produk lokal sejenis lainnya.

Bubuk kopi yang semula hanya terjual dilingkup Lampung semata, kini tembus ke berbagai penjuru Indonesia.

Bermodal ilmu Teknologi Pangan 

Berlatarbelakang ilmu Teknologi Pangan tentu memiliki andil untuk mengantarkan Kobusta Kopi menjelajah negeri seperti saat ini.

Berbagai kontribusi dari ilmu tersebut diterapkan untuk mendapatkan hasil produk terbaik yang siap didistribusikan.

Dari pemilihan biji kopi, suhu yang digunakan hingga waktu sangrai yang tepat untuk mendapatkan kopi robusta sesuai keinginan pasar.

Eksperimen ini tentu tak cukup sekali, beberapa percobaan dilakukan untuk mendapatkan hasil organoleptik yang telah ditentukan. Setelah menemukan formula suhu, dan waktu sangrai yang tepat, Kobusta Kopi pun siap dikemas, dijual dan didistribusikan.

Selain itu, pemahaman tentang pentingnya label halal dalam produk pangan serta Nomor Izin Berusaha tak luput dari catatannya. Pelan-pelan, kebutuhan ini dipenuhi satu per satu sembari terus belajar mencari syarat-syarat lain yang harus dipenuhi untuk berdirinya sebuah bisnis baru yang halal, aman dan layak untuk dikonsumsi.

Sempat ingin berhenti

Membuka usaha di tengah statusnya yang juga pekerja bukan hal yang mudah. Tantangan utama tentu membagi waktu agar keduanya selesai di waktu bersamaan tanpa ada satu tugaspun yang ketinggalan.

Tentu saja ini jadi pertimbangan sulit. Meneruskan jadi karyawan atau fokus jadi pengusaha?

Pilihannya, bila ingin bicara jujur, ya keduanya kalau memang masih bisa dan sanggup.

Namun kala itu, Mutia memutuskan produksi kopi di hari libur agar pekerjaanya sebagai karyawan tidak terganggu.

Sayang, sebagai pemula, saat pesanan yang masuk melampaui kapasitas produksi, ada perasaan lelah dan keteteran hingga sempat terbersit pikiran untuk berhenti.

Namun untuk melepaskan statusnya sebagai seorang karyawan, dirinya tak kuasa dan belum terlalu percaya diri. Selain karena masih butuh suntikan finansial, kala itu, usahanya tak semelejit namanya kini.

Mendapatkan dukungan dari berbagai pihak

Sebuah kalimat bijak menyebutkan bahwa untuk bisa sampai ke tujuan, kamu harus ingat kenapa memulai langkah.

3 tahun yang lalu, saat Mutia memutuskan untuk mulai menyangrai 1-2 Kg kopi di kebun secara manual selama 2-3 jam, alasan utamanya adalah menuntut keadilan harga.

Kala itu, harga jual biji kopi di kaki Gunung Pesagi hanya diganjar Rp 18.000 per Kg. Sedangkan di waktu yang bersamaan, harga jual bubuk kopi tembus mencapai Rp 65.000 per Kg.

Berangkat dari sana, keinginan Mutia untuk berhenti, kembali menjadi bahan diskusi dengan keluarga sekaligus tim produksi Kobusta Kopi.

Sejak awal bisnis, Mutia memang telah mendapatkan dukungan dari seluruh anggota keluarga. Mama dan suaminya mengambil bagian produksi kopi, Ayah dan adik bagian distribusi, sedang dirinya menyiapkan diri untuk melengkapi surat-surat legal usahanya. Sesekali, dia juga tak takut mencoba peruntungan penjualan di marketplace.

Kabar baiknya, hampir tiga tahun berjalan, marketplace rupanya membawa Kobusta Kopi menembus penjualan kurang lebih total 1.000 paket dengan berat bersih 100Gr dan 250Gr. Cukup fantastis untuk pemula!

Gayung bersambut.

Tak hanya dari keluarga, Mutia juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak lainya.

Ada Koperindag yang siap membimbing dan membantu mengeluarkan Nomor Izin Berusaha (NIB), diberi fasilitas seminar Dinas Kesehatan, fasilitas seminar Keamanan Pangan. Belum lagi, Kemenag ikut andil dalam menyiapkan sertifikat Halal MUI.

BPOM juga turut membimbing untuk memantaskan ruang produksi, ruang kemas, hingga tampilan desain kemasan sampai berhak mendapatkan izin edar dan dinyatakan aman.

Satu per satu syarat yang harus dipenuhi untuk berdirinya sebuah UMKM yang halal, aman dan layak untuk dikonsumsi akhirnya terpenuhi.

Tentu tidak mudah mendapatkan dokumen-dokumen ini. Perlu dilakukan berbagai perombakan seperti memperbaiki ruang produksi, memperbaiki sanitasi, membuat manual sistem jaminan halal, melengkapi peralatan sesuai CPPOB dan SOP Kobusta yang membutuhkan cukup banyak biaya.

Kobusta Kopi di Liwa Expo | Foto: Mutia
Kobusta Kopi di Liwa Expo | Foto: Mutia

 "Biayanya memang gede, Na, karena harus perbaiki ruang produksi, sanitasi, biar sesuai dengan permintaan BPOM. Banyak deh uangnya keluar buat kebaikan pribadi" ujarnya mengingat proses rombak berbagai ruang untuk memenuhi syarat dari BPOM untuk UMKM yang dijalankannya.

Meski begitu banyaknya dokumen yang telah selesai diurus, tak satupun diikuti "pungli". Seluruh instansi bergerak memberi bantuan tanpa meminta imbalan.

Tak ketinggalan juga dukungan dari sahabat-sahabatnya. Berbagai bentuk dukungan turut kami berikan. Ada yang membeli untuk kebutuhan pribadi, ada juga yang tak sungkan berpromosi di kantornya sendiri.

Pernah satu waktu Mutia memintaku mengulas Kobusta Kopinya. "Gratis aja, Na. Nanti tolong diulas, ya." Pintanya kala itu.

Aku menolak. Meminta link penjualan produknya di marketplace dan memilih pengiriman dengan JNE layanan Reguler, kemudian memesan atas nama pribadi.

Aku paham beratnya merintis usaha dan pentingnya dukungan sekitar agar tetap bertahan di tengah berbagai godaan. Itu sebabnya meski dia kekeuh memberiku gratis, aku berusaha meyakinkan bahwa tidak masalah mengeluarkan sedikit biaya untuk mencicipi kopinya yang mulai tenar itu.

Dari sudut pandangku seorang pelanggan, JNE memang selalu jadi pilihan tiap kali berbelanja di marketplace. Selain karena harganya terjangkau, aku juga telah mengenal kurir JNE yang berlokasi tak jauh dari rumah sehingga meski sedang tidak di rumah, Beliau tahu dimana harus meletakkan pesananku. Cukup koordinasi dengan kalimat "Ka, paketnya di tempat biasa, ya" seperti yang kerap dikirimkan padaku.

Sedang dari sisi UMKM seperti Mutia, ekspedisi ini jadi pilihan karena kinerjanya yang memudahkan pelaku usaha dan terpercaya.

Aku juga dulu sempat menikmati ini, ketika masih berjualan dan pesanan yang masuk membludak, agen JNE datang ke rumah untuk pick up tanpa tambahan biaya.

Dihajar pandemi Covid-19

Sayangnya, saat pandemi Covid-19 melanda, Kobusta Kopi sempat kehilangan pesanan hingga dua minggu berturut-turut. Tak berlangsung lama memang, karena selanjutnya pesanan datang meski tak sebanyak sebelum-sebelumnya.  

"Untungnya, selama pandemi, JNE yang di dekat rumah buka terus. Kebayang ngga kalau mereka juga tutup? Mau jadi apa usahaKu, Na? Ngga jalan kali" katanya.

Ya, PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE), jadi salah satu pendukung seluruh UMKM selama pandemi. Meski kita banyak kehilangan orang tersayang hingga pekerjaan, tak bisa dipungkiri, dalam urusan penjualan, banyak juga UMKM yang bertahan hingga mengalami perkembangan.

Orang mungkin akan beranggapan bahwa sumber daya manusia yang ada dalam lingkup usahalah supporter utama, padahal disadari atau tidak, pihak-pihak lain seperti ekspedisi juga berkontribusi tinggi untuk kemajuan bisnisnya.

JNE ini misalnya. Sebagaimana tagline yang diusung "Connecting Happiness" demikian pula JNE berkontribusi membantu mempertemukan produk UMKM kepada penggunanya di seluruh Nusantara.

Menghubungkan kebahagiaan antara pembeli yang membutuhkan barang, penjual yang sedang berupaya untuk memperbaiki roda perekonomian, pekerja di UMKM untuk mencukupi biaya kehidupan, hingga puncaknya JNE juga membantu dalam membentuk dan menyumbang produk domestik bruto bagi negara dengan terus mendampingi UMKM.

Proses yang panjang memang, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran JNE di tengah-tengah UMKM juga bagian dari kontribusi untuk negeri.

Hingga memasuki usia yang ke 31 tahun, JNE masih tetap menyenangkan untuk digunakan.

Liwa ke Depok, Jawa Barat misalnya, hanya dihargai Rp 17.000 per Kg menggunakan layanan OKE. Estimasi sampainya juga terbilang cepat, 2-3 hari.

Bila ingin lebih cepat lagi, ada layanan REG dan YES yang harganya juga masih terbilang murah, tidak sampai hingga Rp 30.000

UMKM atau perusahaan yang memiliki kesepatakan dengan JNE juga biasanya bisa mendapatkan harga khusus. Dan ini tentu sangat membantu semua pihak, terutama pelanggan.

"Kalau pesen langsung ke aku atau ke adek, biasanya diarahin ke website JNE, mereka bisa lihat sendiri ongkirnya, bisa pilih sendiri mau pakai layanan yang mana. Pelangganku senang, jualanku juga lebih transparan." Ujarnya.

Sedang pelanggan yang membeli lewat marketplace, biaya kirim sudah tertera secara otomatis.

Meskipun demikian, agar penjualan tetap berjalan, Mutia juga memanfaatkan posisi rumah yang berada di jalan utama yang dilalui warga dengan menempatkan banner di bagian depan rumah sebagai "Produsen Kopi Bubuk" dengan berbagai deskripsi relevan lainnya.

Sempat dicibir, Kobusta Kopi kini memberi dampak positif

Meski sempat mendapatkan cibiran, pada akhirnya, usaha Kobusta Kopi yang dirintis membawa dampak positif bagi warga sekitar.

Warga bisa datang dan berkunjung untuk sekedar mencicipi salah satu kopi robusta terbaik dari kaki gunung Pesagi, bisa juga melakukan penukaran biji kopi dengan bubuk kopi atau melakukan sangrai hingga menggiling biji kopi di lokasi usahanya.

Dan akhirnya, Kobusta Kopi yang sempat diragukan, kini penjualannya terus melaju.

Itu dia, Kobusta Kopi, kopi Robusta dari kaki gunung Pesagi yang kini semakin siap menembus pasar negeri bersama JNE yang menemani. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun