Sebuah kalimat bijak menyebutkan bahwa untuk bisa sampai ke tujuan, kamu harus ingat kenapa memulai langkah.
3 tahun yang lalu, saat Mutia memutuskan untuk mulai menyangrai 1-2 Kg kopi di kebun secara manual selama 2-3 jam, alasan utamanya adalah menuntut keadilan harga.
Kala itu, harga jual biji kopi di kaki Gunung Pesagi hanya diganjar Rp 18.000 per Kg. Sedangkan di waktu yang bersamaan, harga jual bubuk kopi tembus mencapai Rp 65.000 per Kg.
Berangkat dari sana, keinginan Mutia untuk berhenti, kembali menjadi bahan diskusi dengan keluarga sekaligus tim produksi Kobusta Kopi.
Sejak awal bisnis, Mutia memang telah mendapatkan dukungan dari seluruh anggota keluarga. Mama dan suaminya mengambil bagian produksi kopi, Ayah dan adik bagian distribusi, sedang dirinya menyiapkan diri untuk melengkapi surat-surat legal usahanya. Sesekali, dia juga tak takut mencoba peruntungan penjualan di marketplace.
Kabar baiknya, hampir tiga tahun berjalan, marketplace rupanya membawa Kobusta Kopi menembus penjualan kurang lebih total 1.000 paket dengan berat bersih 100Gr dan 250Gr. Cukup fantastis untuk pemula!
Gayung bersambut.
Tak hanya dari keluarga, Mutia juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak lainya.
Ada Koperindag yang siap membimbing dan membantu mengeluarkan Nomor Izin Berusaha (NIB), diberi fasilitas seminar Dinas Kesehatan, fasilitas seminar Keamanan Pangan. Belum lagi, Kemenag ikut andil dalam menyiapkan sertifikat Halal MUI.
BPOM juga turut membimbing untuk memantaskan ruang produksi, ruang kemas, hingga tampilan desain kemasan sampai berhak mendapatkan izin edar dan dinyatakan aman.
Satu per satu syarat yang harus dipenuhi untuk berdirinya sebuah UMKM yang halal, aman dan layak untuk dikonsumsi akhirnya terpenuhi.