Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahkan Tere Liye Tersesat dalam Tulisannya

23 Oktober 2018   01:49 Diperbarui: 23 Oktober 2018   02:06 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin | Foto: Gramedia

Saat menulis, pernahkah rekan-rekan Blogger merasa stuck? Diam di tempat. Hanya memandangi layar laptop atau komputer tanpa melakukan apapun padahal tulisan sudah berjalan setengah jalan? Atauu, rasa-rasanya ingin sekali menulis namun tak ada hal apapun yang terlintas di benak. Alhasil, laptop dibuka pagi hari, dan tidak ada yang berubah hingga petang menyapa?

Atau barangkali pernah bingung untuk menuliskan lanjutan dari beberapa paragraf yang telah usai. Alih alih menenangkan pikiran, mendengar musik, atau sekedar menikmati hujan di kejauhan untuk mengembalikan ide, kita malah memaksakan diri melanjutkan tulisan. Dan saat dibaca kembali, rasanya kok yo malah hambar? Sama sekali tidak berhubungan dengan paragraf sebelumnya. Sehingga membuat kita merasa malu untuk menyebarkannya di blog. "Tulisan tanpa rasa"

Saya pikir, semua orang yang bergelut dalam urusan tulis menulis ini pernah merasakan hal yang sama. Dan itu lumrah terjadi. Itu mengapa kita yang berada di lingkup ini dituntut untuk mengikuti berita teraktual, banyak membaca, jeli melihat lingkungan, peka terhadap sebuah keadaan, termasuk memberi hati saat mendengarkan irama dan lirik musik. Semua hal tersebut berpotensi memberi ide untuk sebuah tulisan.

Atas dasar "hal biasa" di dunia tulis menulis ini, saya membawa kabar baik untuk kita, atau setidaknya, untuk diri saya sendiri yang kerap bengong di tengah perjalanan menghasilkan sebuah tulisan. Apa itu? Bahwa Tere Liye juga mengalami hal yang sama!

Tak percaya?

Adakah yang belum mengenal Tere Liye? Penulis kondang yang novel-novelnya menjadi serbuan penikmat fiksi? Bukan satu dua lagi novelnya menjadi best seller.

Semua tulisan-tulisan yang terbungkus sampul itu mampu menyihir pembaca dalam tiap paragrafnya. Menangis dalam cerita sedih, tertawa renyah di komedinya. Serunya lagi, tiap novel keluarannya saling berkelindan satu dengan yang lain. Tips yang cukup jitu untuk membuat pembaca tak ingin ketinggalan tiap novel terbarunya.

Novel berjudul Pulang misalnya, pembaca dibawa ke cerita sebelumnya di novel berjudul Pergi untuk mengerti kisah di sana. Kalau tidak baca, seperti ada bagian puzzle yang kurang meski novel telah usai dibaca. Padahal, jka dibaca sepintas, novel per novel adalah cerita yang berdiri di atas kakinya sendiri. Di atas kisahnya masing-masing tanpa disambungkan dengan novel lainnya. Itu mengapa saya menyebut ini tips jitu untuk memastikan pembaca tetap akan membeli novel keluaran selanjutnya.

Lalu bagian mana yang menunjukkan bahwa Tere Liye juga mengalami hal yang sama? Maksud saya, kehilangan dirinya sendiri dalam ceritanya?

Dalam novelnya berjudul Hujan, ide yang melangbuana ke 40 tahun ke depan menjadi point penting serunya kisah yang diceritakan. Sedangkan dalam novelnya berjudul Pergi dan Pulang, Tere Liye berhasil membawa imajinasi menghadapi seekor babi hutan di tengah hutan lebat dengan ukuran yang tak beradab. Alasan yang sama yang membuat "Si Babi Hutan" menjadi orang yang hidup tanpa rasa takut. Menjalani hidup hingga akhirnya menemukan jalannya untuk "Pulang".

Novel-novel ini seru sekali untuk dilahap. Saya pikir, otak Tere Liye urusan ide memang tidak perlu lagi diragukan, sampai akhirnya saya membaca novelnya yang berjudul "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin"

Sudahkah temen-teman membacanya? Maksudku, novel tersebut.

Bagaimana rasanya?

Menyebalkan bukan? Hambar.

Kisah di awal begitu memikat. Bagaimana tokoh kedua anak tersebut berjuang di jalanan menguras emosi. Termasuk ketika Tania harus mengalami kakinya yang tertusuk pada saat mengamen di bus hingga menjadi sebuah langkah baru kehidupannya dan keluarganya.

Namun, di tengah renyahnya cerita dalam novel, ada yang gamang di sana, tentang penjelasan umur tokoh yang dideskripsikan oleh Tania. Hampir ada di seluruh bab. Sangat terbaca apa yang ingin disampaikan oleh Tere Liye.

Sampai kemudian tokoh Tania sudah mulai memahami perasaan yang tumbuh dalam hatinya.

Membaca bab tersebut hingga akhir cerita adalah membaca novel Tere Liye yang paling melelahkan yang pernah saya rasakan. Berputar-putar dalam pertanyan-pertanyaan ribet yang seolah sengaja dituliskan karena Tere Liye sendiri sedang kebingungan untuk mengakhiri cerita.

Dalam salah satu bab, Ratna, Istri tokoh Danar melihat dan jelas terkejut dengan kalung yang dikenakan Tania, Sebuah liontin pemberian suaminya. Liontin tersebut memang diberikan oleh Danar pada seluruh anggota keluarganya. Namun kalung pada Tania berbeda, dan dalam cerita dideskripsikan bahwa tokoh Ratna menyadari ada yang istimewa pada liontin yang dikenakan Tania. Jelas itu adalah pasangan kalung dari yang dikenakan oleh suaminya.

Lalu, di bab berikutnya, Tere Liye kembali memilin cerita, menjelaskan perasaan sakit yang diderita Ratna karena harus melawan "seseorang" yang pernah tampak dalam keluarganya, namun selalu ada di hati suaminya. Dan seluruh keluh kesah itu disampaikan pada Tania.

Jika cerita berakhir dengan pengakuan bahwa Ratna mengetahui siapa "seseorang" yang tak tampak itu, setidaknya, ini masih melegakan bagi pembaca. Sayangnya, cerita berakhir sebagaimana tebakan pembaca sejak dalam bab Tania menyadari perasaannya pada Danar. Dan itu berada di bagian bab pertengahan novel. Dapat dikatakan, usai bab itu hingga habis, pembaca benar-benar sedang membuang waktunya.

Hal Positif dari Kegagalan Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Apakah saya sedang mencari-cari kesalahan dari seorang Tere Liye? Dari karya-karyanya?

Jelas tidak!

Kegagalan Tere Liye dalam menutup novel ini seperti sebuah penerang bagi saya yang kerap mengalami hal yang sama di tengah menghasilkan sebuah tulisan. Mungkin rekan-rekan blogger/penulis di luar sana juga.

Jika Tere Liye -- si novelis kondang -- saja pernah mengalami hal serupa, bagaimana bisa saya dan rekan-rekan yang mendalami bidang yang sama yang benar-benar masih tengah mengasah kemampuan, berdiam diri dan berhenti berkarya hanya karena ide tak kunjung datang dalam sebuah kesempatan menghasilkan tulisan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun