Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Tantangan 100 Hari Menulis Novel] The Oxygen #3

22 Maret 2016   17:24 Diperbarui: 22 Maret 2016   17:33 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah bus melaju cepat di jalanan Jakarta. Dari luar terlihat cukup sesak oleh penumpang, sebagian dari mereka berdiri di antara deretan bangku bus. Sesekali terdengar teriakan kondektur nyaring "Merak... Merak... Merak!" Sebagai petunjuk akan kemana bus ini melaju. 

 

Tak peduli seberapa banyak dan bagaimana sesaknya bus, kondektur masih saja bertahan dengan keinginanannya untuk memasukkan beberapa tambahan penumpang lain dengan iming-iming tempat duduk masih tersedia di bagian belakang bus walau kenyataan sudah terbaca jelas di balik jendela bus.

 

"Masuk aja, Bu! Di bagian belakang masih kosong. Ayo, Pak!" Teriaknya meyakinkan.

 

Percaya dengan ajakan kondektur, para calon penumpang masuk ke dalam bus. "Di belakang mana, Pak? Padet begini!" Si Ibu kesal merasa tertipu. 

 

"Di belakang, Bu. Itu kan masih pada kosong." 

 

"Kosong apanya? Berhenti dulu Pak! Saya mau turun!" Si Ibu mengetuk langit2 bus. "Main jalan aja!" Serunya semakin dongkol ketika bus melaju tanpa peduli dengan kondisi penumpang yang baru saja masuk. 

 

"Ya udah ya udah buruan, Bu, turun! Huuuu ngerepotin aja, lo!" 

 

"Lo yang ga pake otak!" 

 

Perdebatan yang cukup menyita perhatian namun tidak diperhatikan oleh kedua belah pihak. Merasa benar dengan keputusannya masing-masing. Bus melaju cepat setelah sang Ibu turun. Kondektur kembali dengan tugasnya meminta ongkos pada tiap penumpang yang baru saja naik.

 

Seorang wanita bertubuh mungil terjebak di antara barisan penumpang lain yang lebih memilih berdiri di antara spasi kecil bangku untuk segera tiba di tempat yang dituju. Tangannya sibuk merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Sesaknya bus membuatnya sedikit kesulitan untuk mendapatkan apa yang dicarinya.

"Ini, Mas." Dia menyerahkan ongkosnya setelah benda yang dicarinya akhirnya ditemukan juga, dompet!

"Ongkosnya, Neng! Ongkos ongkos!" Sang Kondektur kembali meneriakkan seluruh pengisi bus baik yang lama dan yang baru naik untuk menyerahkan tanggung jawab mereka.  Semuanya sangat memaksimalkan kekesalanan penumpang namun mengharuskan merasa mengusap dada atas keputusan yang telah diambilnya. Jalanan yang macet, bus yang sesak, teriakan kondektur yang tak kunjung usai dan AC bus yang tak lagi terasa. Sesekali bus mendadak berhenti setelah sebelumnya sempat berjalan sebentar dan lamban.

"Mas, kemana?" Tanya seorang penumpang pria yang berdiri pada penumpang pria lainnya yang mendapatkan tempat duduk.

"Merak, Mas." Sahutnya singkat lalu menutup telinganya dengan headset yang baru saja dikeluarkannya dari dalam tas. Di atas kantong depan bajunya terpampang jelas nama Kandi di sana, diikuti logo perusahaan tempat bekerja (mungkin) di lengan bajunya sebelah kiri.

"Mba, mau kemana?"

"Merak juga, Mas."

"Masih kuat, Mba?" Tanyanya prihatin pada penumpang wanita mungil di depannya yang tangannya masih saja menggenggam dompetnya erat. "Masih jauh, lho!" 

"Iya, Mas. Kuat kok. Terima kasih." Senyum terpancar di sana sekilas setelah menjawab pertanyaan pria di belakangnya.

Pria tersebut tersenyum kecut. Matanya disebar ke seluruh penjuru bus menyapu bersih wanita-wanita lain yang bernasib sama dengan dirinya berdiri di antara deretan kursi bus. Lalu dengan sudut mata menatap tajam pada penumpang pria yang kini memejamkan mata dengan headset menyumbat kedua telinganya. 

Bus terus saja melaju tanpa memerdulikan percakapan singkat diantara tiga penumpang tersebut, berusaha menembus kemacetan menuntaskan tugas menghantar para pengguna bus tiba di tempat tujuan.

 

***

 

"Ke pelabuhan, Mas!" Seorang pria berseragam hitam mendekati salah seorang ojeg yang mangkal di radius kurang lebih 200-300 meter dari pelabuhan, jarak yang cukup jauh melangkahkan kaki di bawah terik matahari.

"Boleh, Mas. Ayo naik." Sang ojeg menyiapkan motor dan helmnya lalu menyerahkannya pada penumpang barunya.

Tangn si penumpang menyulut sebatang rokok, mengisapnya lalu naik ke boncengan ojeg pilihannya.

"Ceban, Mas." Seru si ojeg setelah berada di pelabuhan dan penumpangnya sudah turun dari motor.

"Sebentar, Mas."

Tangannya merogoh kantong celana bagian belakang, samping. Nihil. 

"Dimana ya? Apa di tas?" Tanyanya pada dirinya sendiri. "Tapi tadi gue masukin kantong belakang, kok."

"Mas, ceban Mas. Buruan. Saya harus cari penumpang lagi nih." 

"I.. Iya Mas. Sebentar!" Tangannya merogoh kantung bajunya. "Ini, Mas. Ceban. Terima kasih ya."

Pria tersebut kembali membongkar seluruh isi tasnya dan hasilnya tetap saja sama. Nihil. "Arghh! Sial sial siall! Dompet gue hilang!" Dia berteriak geram dalam kesal yang tidak tertahankan. Matanya menutup membayangkan semua perjalanan yang dilakukannya sebelum tiba di pelabuhan.

"Gue masih pegang dompet itu di bus untuk ongkos gue menuju merak. Sial!!!!" Pria tersebut melipat headset yang masih menggantung rapi di lehernya. Melipatnya dengan kasar lalu melemparkannya ke dalam tasnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun