Mohon tunggu...
Edy Utama
Edy Utama Mohon Tunggu... -

Hobby baca...baca apa saja..baca situasi...baca kompasiana juga, I love it..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Korban Kampanye 100 hari

11 Desember 2009   21:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gaya hidup Syam sepenuhnya berubah, jungkir balik tak tentu lagi bentuknya. Lidahnya yang biasa bergoyang seminggu 3-4 kali minta makan di restaurant bersih nan nyaman sekarang harus pasrah dengan menu prihatin dana cekak penjara.

Akhir akhir ini ia jadi sering ingat masa lalunya, menyantap nasi rames plus teh hangat sambil berpeluh berdesakan dengan tukang becak di masa kost dulu, ternyata masih lebih enak!!

Mau nggak dimakan, bisa tambah repot, kalau sakit emang sipir sipir itu mau ngerokin, bahh. Pernah ia mimpi dua malam berturut turut makan ikan bawal bakar kesukaannya, dan paginya harus tersenyum kecut melihat sepotong ikan asin “bawal mini” di piring seng sarapannya.

Apa boleh buat, ia harus maklum istrinya sedang sibuk melobi hakim dan jaksa yang menangani perkaranya.

Sebenarnyalah ia tak tahan lagi. Bagian kiri kepalanya sudah seminggu ini berdenyut denyut, keringatnya acap kali menetes tanpa sebab bahkan di tengah dinginnya malam.

Maklumlah, kelebihan berat badannya sudah melampaui ambang obesitas, semua organ dalamnya terengah engah kepayahan melayani pembuluh darahnya yang menyempit berkolesterol tinggi. Keatletisan tubuhnya sebagai mantan penyerang kesebelasan universitas 16 tahun yang lalu sudah tidak tersisa lagi.

Dan pagi ini menapak bulan ketiga bagi Syam, tinggal di hotel prodeo, sialnya, tetap saja ia tidak bisa beradaptasi dengan ranjang besi berbusa tipis, dengan sprei buluk warna coklat susu rumah tahanan kejaksaan ini.

Dua hari menjelang vonis, benar benar tak tertahankan lagi.

***

jangan kau ungkap terlalu banyak, semua akan diatur, kau percaya saja” ungkap pengacara dan kawan kawannya. “kalau kau menyeret yang lain, itu akan merugikanmu sendiri” semua mencoba meyakinkannya.

Bagaimanapun sebagai pimpinan project ia adalah pemegang kuasa anggaran. Semua keketentuan teknis tidak ada yang dia langgar. Rapi. Nyaris tidak ada cela. Jembatan melintasi jurang sepanjang 600 meter itu tepat waktu. Ia jauh lebih baik dibanding pendahulunya.

Serakah, ia merasa jauh dari itu. Hampir tidak ada yang tidak ikut mencicipi nikmatnya proyek ini. Memang ada yang mempertanyakan uang apa ini, dana apa itu. Toh penjelasan singkat, bahkan yang tidak masuk akalpun sudah cukup mengobati rasa ingin tahu. Mereka bisa menyimpulkan sendiri, jadi ya halal, terserah. Uang diterima tanpa melukai hati dan nurani mereka. Yang penting nggak keterlaluan, masih bisa menepuk dada dan merasa bernurani bersih.

Ini upah hasil kerja keras, pantas lah kita nikmati sebanding dengan usaha kita mensejahterakan rakyat. Sudah pasti tidak ada yang gratis, semua ada hitungannya. Paling tidak 70% penggunaan dana itu benar benar riil.

Kalau jaman kuliah dulu khan begitu, kalau 70% itu ya B, baik, bagus, masih masuk kategori lulus.

Syam yakin sekali waktu itu, tidak akan ada masalah di kemudian hari.

***

Bukan proyeknya yang salah pak, waktunya yang saja yang tidak tepat, maklum presiden baru” ungkap pengacaranya. “tapi pak syam tenang saja, banyak kasus lain yang lebih parah, yang 100% fiktif juga ada, nilainyapun jauh lebih besar” jelasnya panjang lebar.

aku nggak mahu tahu, pastikan aku bebas, kalaupun meleset dibawah 5 tahun masihlah bisa kutanggung” Toh ia masih cukup muda untuk nanti menikmati hasil korupsinya. Yang penting keluarganya terjamin selama dia di penjara.

pastilah pak, kalau cuma tuduhan mark up 300 milyar nggak terlalu masalah, masih banyak kasus yang lebih besar, semuanya sudah diatur” pungkas pengacaranya.

Bener juga. Nggak ada ceritanya koruptor dihukum berat di negeri ini. Teroris boleh dihukum mati, itupun karena desakan negara tetangga dan bibi liberty. Menghukum berat koruptor sama saja menggali kubur sendiri. Ibarat jeruk makan jeruk. Renung Syam menenangkan dirinya sendiri.

Istrinya berkali kali meredam kecemasannya jauh jauh hari, “tenang mas, jaksa yang ini meski bukan kawan sendiri, semoga masih bisalah diatur atur dikit”.

Kalau saja ia boleh memilih, pasti bukan jaksa ini, pandangannya tidak mengancam, tapi tajam dingin, sungguh membuatnya tidak nyaman, ada sorot cerdas licik di sana.

Emang nggak bisa diatur, pakai jaksa yang lain, yang sudah pasti bisa diajak kerjasama” potong Syam dengan nada agak kesal.

ini sudah yang paling baik mas, maklum banyak mutasi dan penertiban kedalam katanya” lanjut istrinya.

Dan syam meski dalam hati merasa ragu tidak bisa berbuat lain.

***

Maraknya demo anti korupsi dan politisasi pihak yang kalah di pemilu rupanya berpengaruh hingga ke ruang sidang. Di jalanan mahasiswa nyaring meminta hukuman seberat-beratnya. Dukung mendukung di facebook tak ketinggalan. Issu remeh temeh tidak mampu mengalihkan perhatian. Apakah janji kampanye harus boleh dibiarkan berlalu tanpa bukti?

Kasus syam disebut sebut, meski tak seberapa, kapasitas hakim dan jaksa yang ditunjuk menangani pidananya diragukan kapasitasnya. Sang hakim dan sang pak jaksa tertegun, pandangan pers sebagian tertuju kepadanya. Ini bukan main main, tekat mereka.

Akibatnya, sidang jadi berlarut larut, jaksa dan hakimnya serta kepolisian semua memilih wait and see. Syam makin stress saja melakoni hari harinya.

Ujungnya tuntutanpun tidak sesuai skenario. Sumpah serapah menjadi dzikirnya menjelang sidang vonis.

Dan hari itupun tiba. Hening, ruang sidang menyimak sang hakim membacakan vonis, jarum jam pun seakan enggan beranjak.

Jernih suara narator sidang menguak sepi “Pada hari ini (Kamis) 10 Desember 2009, sidang kasus korupsi yang mendudukkan Syam, seorang pejabat negara, pimpinan pembangunan project jembatan yang melambangkan kemakmuran negeri ini, mengagendakan pembacaan putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim secara bergantian dengan anggotanya”

Anggota II “Menimbang....”

Anggota I “Mengingat....”

Hakim ketua “ Memutuskan... dengan amar putusan, menyatakan terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi dan mencedarai upaya membawa negeri ini sejajar dengan bangsa lain. Memutuskan menghukum terdakwa dengan hukuman paling berat berupa.....”

Perlahan tapi pasti ritme denyut di bagian kiri kepala Syam bertambah cepat, dan tiba tiba saja ia merasa semuanya menjadi lebih terang lebih terang namun pudar, sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.

Yang terakhir didengarnya adalah jeritan istrinya, “masssssssss...”.

***

Headline harian nasional yang terbit di daerah, keesokan harinya, nyinyir tanpa ampun, "Syam bebas hukuman".

Sang koruptor tak perlu minta naik banding.

Anggan-nya bisa jadi menolak, tapi tubuhnya tak mau diajak kerjasama, kematian telah lebih dulu menjemputnya. Regu tembak Vonis mati kali ini kalah start dengan malaikat maut.

Awal yang baik buat program 100 hari pak presiden. Seluruh aktivis anti korupsi negeri ini mengaminkan kematiannya.

December 11th 2009.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun