Mohon tunggu...
Edy Utama
Edy Utama Mohon Tunggu... -

Hobby baca...baca apa saja..baca situasi...baca kompasiana juga, I love it..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Korban Kampanye 100 hari

11 Desember 2009   21:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Serakah, ia merasa jauh dari itu. Hampir tidak ada yang tidak ikut mencicipi nikmatnya proyek ini. Memang ada yang mempertanyakan uang apa ini, dana apa itu. Toh penjelasan singkat, bahkan yang tidak masuk akalpun sudah cukup mengobati rasa ingin tahu. Mereka bisa menyimpulkan sendiri, jadi ya halal, terserah. Uang diterima tanpa melukai hati dan nurani mereka. Yang penting nggak keterlaluan, masih bisa menepuk dada dan merasa bernurani bersih.

Ini upah hasil kerja keras, pantas lah kita nikmati sebanding dengan usaha kita mensejahterakan rakyat. Sudah pasti tidak ada yang gratis, semua ada hitungannya. Paling tidak 70% penggunaan dana itu benar benar riil.

Kalau jaman kuliah dulu khan begitu, kalau 70% itu ya B, baik, bagus, masih masuk kategori lulus.

Syam yakin sekali waktu itu, tidak akan ada masalah di kemudian hari.

***

Bukan proyeknya yang salah pak, waktunya yang saja yang tidak tepat, maklum presiden baru” ungkap pengacaranya. “tapi pak syam tenang saja, banyak kasus lain yang lebih parah, yang 100% fiktif juga ada, nilainyapun jauh lebih besar” jelasnya panjang lebar.

aku nggak mahu tahu, pastikan aku bebas, kalaupun meleset dibawah 5 tahun masihlah bisa kutanggung” Toh ia masih cukup muda untuk nanti menikmati hasil korupsinya. Yang penting keluarganya terjamin selama dia di penjara.

pastilah pak, kalau cuma tuduhan mark up 300 milyar nggak terlalu masalah, masih banyak kasus yang lebih besar, semuanya sudah diatur” pungkas pengacaranya.

Bener juga. Nggak ada ceritanya koruptor dihukum berat di negeri ini. Teroris boleh dihukum mati, itupun karena desakan negara tetangga dan bibi liberty. Menghukum berat koruptor sama saja menggali kubur sendiri. Ibarat jeruk makan jeruk. Renung Syam menenangkan dirinya sendiri.

Istrinya berkali kali meredam kecemasannya jauh jauh hari, “tenang mas, jaksa yang ini meski bukan kawan sendiri, semoga masih bisalah diatur atur dikit”.

Kalau saja ia boleh memilih, pasti bukan jaksa ini, pandangannya tidak mengancam, tapi tajam dingin, sungguh membuatnya tidak nyaman, ada sorot cerdas licik di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun