Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pangdam Jaya Tak Mungkin Gelar Silent Operation

25 November 2020   08:53 Diperbarui: 25 November 2020   08:55 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman. Foto | Kompas

Pernyataan Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman terkait pembubaran FPI dan penurunan baliho Rizieq Shihab disambut euforia warga di berbagai daerah.

Penurunan baliho, yang mengandung narasi perpecahan bangsa seperti revolusi (akhlak) dan lainnya, diikuti warga di beberapa daerah.

Bahkan makin menguat desakan agar pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk membubarkan Ormas Islam tersebut. FPI dinilai sering membuat gaduh, tak hanya di Jakarta juga di daerah.

Sementara dari kalangan pendudukung Rizieq Shihab masih terdengar suara "sayup-sayup" akan kembali tampil memasang baliho Rizieq.

"Toh, hanya baliho," begitu kabar yang terdengar dari media sosial.

Tanpa sadar, pasca Pangdam Jaya memimpin penurunan baliho Rizieq, kita disuguhi pemberitaan dan pedebatan soal langkah Pangdam masuk ke wilayah sipil.

Ikut mengambil peran di ranah sipil, mengurusi yang persoalan recehan menurunkan spanduk. Itulah kesan yang ditangkap.

Penulis tak paham wilayah hukum yang menjadi hak dan kewajiban TNI secara akademis.  Bahkan pernyataan Pangdam soal pembubaran FPI dinilai sudah kebablasan. Sebab, dianggapnya hal itu bukan domain dan kewenangan TNI.

Namun realitas yang terjadi justru langkah TNI menurunkan baliho Rizieq Sihab dan perlunya pembubaran FPI mendapat sambutan gembira warga Jakarta.

Masih enggak percaya?

Nah, bolehlah sesekali bertandang ke Markas Kodam Jaya. Karangan bunga berupa dukungan kepada Mayjen Dudung Abdurachman begitu besarnya. Sungguh menarik mencermati isi karangan bunga di halaman Makodam Jaya, di antaranya menjawab pernyataan ceramah sang imam dengan kata-kata jenaka.

Langkah Pangdam Jaya menurunkan baliho itu juga diikuti beberapa warga di berbagai daerah. Terakhir, Pangdam Siliwangi juga ikut bersama Satpol PP menurunkan baliho sang imam FPI itu.

Kenapa hal itu baru dilakukan sekarang?

Ya, jelas lah, lantaran warga sejak lama menyimpan rasa takut dengan gerombolan FPI. Takut dicap sebagai umat yang tidak menghormati ulama (anti-ulama) dan dinilai sebagai anggota partai terlarang, PKI.

Tentu, jika penurunan sang imam FPI itu dilakukan dan dimotori TNI rakyat merasa terayomi. Rasa takut sirna. Dan sekarang ucapan kriminalisasi ulama di berbagai tempat menurun drastis.

Jadi, kita semakin paham akan teori komunikasi bahwa pesan yang disampaikan berulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran. Kenyataan ini memunculkan gejala baru, yaitu hadirnya pengikut fanatik buta.  Beragama tak lagi menggunakan logika dan iman.

Demikian halnya dengan menampilkan wajah sang imam melalui baliho. Belakangan pengikutnya mengkultuskan sang imam secara berlebihan. Salah satunya dengan cara memelintir pembacaan salawat Nabi Saw diganti dengan nama sang imam.

Hal itu sempat viral dengan pelakunya anggota FPI di hadapan poster sang imam. Astagfirullah.

**

Bila kita melihat langkah Pangdam Jaya masuk ke ranah publik, muncul pertanyaan  untuk urusan yang recehan ini kok bisa menimbulkan memunculkan kontroversial?

Sebetulnya, ya tidak perlu terjadi kontroversial. Sebab, penulis berulang kali menyaksikan tentara turut ambil bagian mengamankan konflik sosial di Kalimantan Barat.

Ketika tentara tampil memadamkan kebakaran hutan, publik tak ribut. Kala TNI tampil memulihkan daerah yang dilanda bencana alam, publik tak ribut.Ketika tenta hadir di persawahan membantu petani, ya juga tidak ribut.

Dulu, kala terjadi konflik sosial etnis Madura dan Dayak di salah satu desa,  Desa Salatiga (Kawasan Mandor,Kalimantan Barat), publik tak banyak meributkannya.

Kala itu, penulis menyaksikan pasukan Kujang dari Karawang diturunkan.Tak banyak, hitungan penulis hanya 11 orang. Tapi kerjanya sangat efektif.

Kelompok Dayak yang sudah berkumpul dan hendak menyerang didatangi dua atau tiga orang berpakaian loreng menenteng senjata AKA. Sebaliknya dari kelompok suku Madura, didekati. Keduanya diberi ultimatum untuk mundur.

Pasukan TNI itu langsung bicara dengan tokoh adat, bertatap muka. Dalam hutungan kurang dari satu jam, kedua kelompok membubarkan diri. Selanjutnya kedua tokoh dari kedua etnis dipertemukan.

Berbeda dengan pendekatan yang digunakan polisi. Lebih cenderung mengerahkan anggota lebih besar dan menunggui kediaman para tokoh adat setempat.

Di sini, jelas sekali, peran TNI mengamankan wilayah terasa efektif. Kala itu, pun rakyat tak meributkan peran tentara.

Sama halnya ketika ada penggunaan kekuatan TNI pada Orde Baru. Kita tahu, pernah digelar silent operation (operasi senyap) yang dikenal petrus.

Operasi ini dikenal sebagai operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap. Karenanya disebut  "petrus" (penembak misterius).

Tidak perlu berpanjang kalam tentang petrus. Yang jelas operasi ini jika kita sandingkan dengan tampilnya TNI menurunkan baliho sama-sama mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat. Ada ketertiban di ranah sipil.

Realitasnya, belakangan telah menimbulkan kontroversial.

Berkaca pada peristiwa petrus, tentara dikhawatirkan melanggar hak-hak asasi. Petrus menghilangkan ribuan jiwa (kriminal) tanpa proses peradilan.

Sejatinya, kita butuh TNI. TNI memang harus melindungi NKRI. Namun sipil harus mengerti, jika tidak menjaga ketertiban dan persatuan bangsa, maka sangat mungkin tentara tampil ke depan.

Tampilnya tentara itu jangan dimaknai sebagai ambil peran seperti masa lalu. Bisa jadi langkah Pangdam Jaya menurunkan baliho sang imam sebagai shock terapi. Dan, berkaca kepada pengalaman masa lalu, tak mungkin akan ada silent operation.

Salam berbagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun