Dulu, kala terjadi konflik sosial etnis Madura dan Dayak di salah satu desa, Â Desa Salatiga (Kawasan Mandor,Kalimantan Barat), publik tak banyak meributkannya.
Kala itu, penulis menyaksikan pasukan Kujang dari Karawang diturunkan.Tak banyak, hitungan penulis hanya 11 orang. Tapi kerjanya sangat efektif.
Kelompok Dayak yang sudah berkumpul dan hendak menyerang didatangi dua atau tiga orang berpakaian loreng menenteng senjata AKA. Sebaliknya dari kelompok suku Madura, didekati. Keduanya diberi ultimatum untuk mundur.
Pasukan TNI itu langsung bicara dengan tokoh adat, bertatap muka. Dalam hutungan kurang dari satu jam, kedua kelompok membubarkan diri. Selanjutnya kedua tokoh dari kedua etnis dipertemukan.
Berbeda dengan pendekatan yang digunakan polisi. Lebih cenderung mengerahkan anggota lebih besar dan menunggui kediaman para tokoh adat setempat.
Di sini, jelas sekali, peran TNI mengamankan wilayah terasa efektif. Kala itu, pun rakyat tak meributkan peran tentara.
Sama halnya ketika ada penggunaan kekuatan TNI pada Orde Baru. Kita tahu, pernah digelar silent operation (operasi senyap) yang dikenal petrus.
Operasi ini dikenal sebagai operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap. Karenanya disebut  "petrus" (penembak misterius).
Tidak perlu berpanjang kalam tentang petrus. Yang jelas operasi ini jika kita sandingkan dengan tampilnya TNI menurunkan baliho sama-sama mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat. Ada ketertiban di ranah sipil.
Realitasnya, belakangan telah menimbulkan kontroversial.
Berkaca pada peristiwa petrus, tentara dikhawatirkan melanggar hak-hak asasi. Petrus menghilangkan ribuan jiwa (kriminal) tanpa proses peradilan.