Urusan mabuk  memang membahayakan. Ketika orang jatuh cinta, di sebagian anggota masyarakat menyebutnya tengah mabuk lantaran menahan rindu yang terlalu dalam. Dampaknya, bila tak bisa mengendalikan diri boleh jadi yang bersangkutan cari pelarian menjadi pemabuk.
Yang dimaksud jadi pemabuk di sini, ya tidak lain menjadi gemar meminum minuman keras (beralkohol). Namun tidak selalu orang mabuk atau pemabuk dilatarbelakangi jatuh cinta atau putus cinta. Bisa jadi karena di lingkungan masyarakat setempat sudah menjadi kebiasaan, bahkan tradisi, meminum minuman keras yang memabukan sebagai perbuatan dibenarkan.
Karenanya, di berbagai daerah dikenal minuman keras seperti Cap Tikus. Mungkin di daerah lain punya merek lain yang bahan bakunya berasal dari tanaman di daerah bersangkutan.
Dulu, di Arab Saudi,  soal urusan mabuk  tidak ada larangan. Setiap orang boleh mengonsumsi minuman keras.  Urusan mabuk pun tidak terlalu dipersoalkan. Meminum minuman keras sebagai kegemaran sehari-hari. Kok bisa, ya?
Itu dulu, kala tanah Arab dalam zaman kegelapan, Â jahiliyah. Jangankan orang mabuk, orangtua mengubur anak perempuannya pun dianggap sebagai suatu kebanggaan. Kala Nabi Muhammad Saw, urusan mabuk itu, demikian berat untuk diatasi.
Dapat dibayangkan, bila dijumpai seseorang Muslim mendirikan sholat lima waktu dalam kondisi masih mabuk. Jangankan untuk berkonsentrasi menghadap kiblat, untuk mengucap takbir saja tak bakalan mampu dan sempurna.
Jika dulu di Tanah Arab sudah ada organisasi kemasyarakatan (Ormas) seperti Front Pembela Islam, pasti sudah diberengus habis hingga tuntas.
Nah, sekarang, sangat masuk akal ketika Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (Minol) atau minuman keras hendak diatur oleh para anggota dewan yang terhormat tak kunjung selesai dibahas. Â Pernah dibahas, lalu menghilang dari gedung parlemen. Eh, sekarang mengemuka lagi.
Potensi pembahasan RUU Minuman Beralkohol (RUU Minol) selesai dibahas sangat mungkin, namun jangan lupa di luar gedung parlemen mencuat pernyataan nyinyir. Pasalnya, urusan mabuk itu sayogiaya menjadi rusan pribadi. Menyangkut privasi atau keleluasaan seseorang. Negara terlalu jauh ikut campur. Gitu alasan yang mengemuka.
Nah, kembali ke Arab Saudi. Â Persoalan mabuk sudah umum di zaman Rasulullah Saw. Lantas, secara bertahap larangan minuman keras dilakukan.
Tidak ujug-ujug para sahabat Nabi Saw yang doyan mengonsumsi minuman keras langsung dihentikan kebiasaannya.
Namun ada saja sahabat nabi yang melanggarnya. Kok, melawan perintah Nabi Saw?
Ingat, sahabat Nabi Saw yang bernama Nu'aiman bin Amr bin Rafa'ah. Namanya menjadi beken dan mampu menyaingi ketenaran sahabat Nabi Saw lainnya. Nu'aiman gemar  mengonsumsi minuman keras.
Dalam berbagai literatur dan laman diungkap tingkah Nu'aiman yang nyeleneh ini. Ia ditegur para sahabat lantaran masih saja mengunsumi minuman keras.  Para sahabat memarahi dan mencaci Nu'aiman. Namun kerumunan para sahabat yang memarahi Nu'aiman dibubarkan  Rasulullah Saw  yang saat itu kebetulan lewat.
Rasulullah Saw menanyakan duduk soal Nu'aiman diperlakukan demikian. Cerita para sahabat  tidak lantas membuat Rasul memihak mereka.
Rasul justru berkata, "Jangan pernah lagi kalian menghujat dan melaknat Nu'aiman, meski dia seperti ini tapi dia selalu membuat aku tersenyum, dia masih mencintai Allah dan Aku, dan tidak ada hak bagi kalian melarang Nu'aiman mencintai Allah dan mencintaiku sebagai Rasul."
Kisah Nu'aiman yang menjual temannya sendiri dan dilaporkan oleh sahabat Abu Bakar. Juga kisah Nabi Saw dihentikan langkahnya ketika hendak masuk masjid dan dimintai uang untuk membayar makanan yang telah dinikmati.
"Mau ke mana engkau Ya Rasul? Habis makan kok tidak bayar?" kata Nuaiman.
Rasul pun menjawab, "Kan yang memesan kamu."
"Memang betul ya Rasul, tetapi di mana-mana raja itu melayani, mengayomi, dan bos itu yang mentraktir karyawannya, masak saya yang harus bayar ya Rasul?"
Tanpa pikir panjang, Rasulullah pun mengambil sejumlah uang untuk diserahkan kepada Nu'aiman sembari tersenyum merasa terhibur dengan tingkah laku Nu'aiman.
**
Kembali urusan permabukan.
Andai saja pada tahun 1980-an sudah ada UU larangan orang mabuk, bisa jadi penulislah yang pertama-tama ditangkap pihak berwajib.
Terus terang, penulis tak gemar mengonsumsi minuman keras. Bukan semata karena dilarang oleh agama. Bukan itu alasan utamanya.
Begini, dulu, penulis hampir tiap malam harus membawa botol kecil minuman keras. Utamanya pada malam hari seusai menunaikan tugas dinas malam.
Karena mobil jemputan kantor, yang mengantar pulang ke kediaman, terlalu lama karena beberapa teman diantar dari satu tempat ke tempat yang berbeda. Ujungnya, tiba di rumah menjelang Subuh.
Nah, agar sampai ke kediaman lebih cepat, penulis memilih menggunakan transportasi umum, Angkot. Dari arah Jalan Merdeka Selatan menuju Cililitan, lalu bersambung ke kawasan Ceger di Jakarta Timur.
Sebelum naik angkot, penulis mengolesi tangan, pipi dan bagian leher dengan minuman keras. Tujuannya, ya mencari aman. Loh, cari aman kok mengenakan minuman keras?
Di sini uniknya.
Tubuh mengeluarkan aroma minuman keras tak bakal didekati maling, perampok di tengah malam. Dengan sebutan lain, sesama pemabuk tak akan saling ganggu. Kesan kuat yang melekat saat itu, orang menjadi berani lantaran mabuk.
**
Penulis punya pengalaman ketika bertugas di kawasan Indonesia Timur. Tak perlulah disebut nama daerahnya. Tak elok.
Ada kebiasaan warga seusai makan ditindak lanjuti dengan minuman penutup berupa minuman beralkohol. Mungkin karena saking sudah berurat-akarnya mengonsumsi minuman keras, tidak heran kita sering mendapati orang kaya tidur di selokan.
Jadi, orang yang banyak duit lebih gemar tidur di tepi selokan ketimbang di hotel mewah atau di kediaman ditemani isteri tercinta. Saking banyaknya punya duit, bingung dan akhirnya menikmati keindahan hidup dengan minum minuman keras. Lalu, tanpa sadar, tepi seolakan di ruas jalan tertentu dijadikan tempat tidur.
Penelitian dari kalangan kesehatan tak pernah mengungkap secara terbuka  warga di daerah mana saja yang gemar mengonsumsi minuman keras. Padahal itu penting disampaikan. Sebab, indikator warga yang  kesehatannya terganggu karena penyakit gula, gagal ginjal dan kemudian cuci darah, salah satunya karena berlebihan mengonsumsi minuman keras.
Memang masih banyak lainnya seseorang menderita sakit lantaran minuman keras. Yang jelas, minuman keras lebih banyak mudaratnya.
Nah, mumpung RUU Minol tengah dibahas, tentu para anggota dewan sudah paham betul makna mabuk, pemabuk dan memabukan. Tahu persis peta penyebaran minuman keras dan adat kebiasaan warga yang menjadikan minuman keras sebagai tradisi.
Tapi, tak kalah penting anggota dewan juga harus paham mabuknya orang jatuh cinta, Â rindu karena cinta, mabuk harta, mabuk kedudukan dan mabuk wanita.
Hanya dengan cara itu, kearifan lokal dapat secara bijaksana diberlakukan larangan minuman keras. Ya, tanpa harus menyakiti tetapi saling menyayangi seperti Rasulullah Saw melindungi Nu'aiman, sang pemabuk.
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H