Kembali urusan permabukan.
Andai saja pada tahun 1980-an sudah ada UU larangan orang mabuk, bisa jadi penulislah yang pertama-tama ditangkap pihak berwajib.
Terus terang, penulis tak gemar mengonsumsi minuman keras. Bukan semata karena dilarang oleh agama. Bukan itu alasan utamanya.
Begini, dulu, penulis hampir tiap malam harus membawa botol kecil minuman keras. Utamanya pada malam hari seusai menunaikan tugas dinas malam.
Karena mobil jemputan kantor, yang mengantar pulang ke kediaman, terlalu lama karena beberapa teman diantar dari satu tempat ke tempat yang berbeda. Ujungnya, tiba di rumah menjelang Subuh.
Nah, agar sampai ke kediaman lebih cepat, penulis memilih menggunakan transportasi umum, Angkot. Dari arah Jalan Merdeka Selatan menuju Cililitan, lalu bersambung ke kawasan Ceger di Jakarta Timur.
Sebelum naik angkot, penulis mengolesi tangan, pipi dan bagian leher dengan minuman keras. Tujuannya, ya mencari aman. Loh, cari aman kok mengenakan minuman keras?
Di sini uniknya.
Tubuh mengeluarkan aroma minuman keras tak bakal didekati maling, perampok di tengah malam. Dengan sebutan lain, sesama pemabuk tak akan saling ganggu. Kesan kuat yang melekat saat itu, orang menjadi berani lantaran mabuk.
**
Penulis punya pengalaman ketika bertugas di kawasan Indonesia Timur. Tak perlulah disebut nama daerahnya. Tak elok.