Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

M. Jasin Dikenang dengan Nikah Gratis

10 November 2020   10:11 Diperbarui: 10 November 2020   10:20 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh Balai Nikah di Kecamatan Belakang Padang, Batam. Foto | Dokpri

Berawal dari hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Agama ditempatkan sebagai institusi paling korup. Itu sungguh menyakitkan. Lalu, meski terasa berat, pembenahan dilakukan. "Tangan kotor" disingkirkan. Berbarengan dengan itu dilakukan perbaikan pelayanan publik.

Salah satunya, penataan pelayanan nikah. Di sisi lain, budaya pemberian hadiah kepada penghulu dianggap sebagai kearifan lokal. Benturan muncul setelah KPK menilai penghulu sebagai Aparat Sipil Negara (ASN) menerima gratifikasi. Penghulu protes. Pasalnya, martabatnya dirusak.

M. Jasin, mantan komisiaris dari lembaga antirasuah, diangkat jadi Irjen Kemenag. Awalnya, gejolak terkait gratifikasi di kalangan penghulu mengemuka.Ternyata, Jasin mampu memberi solusi dan mengembalikan marwah para penghulu.

Artikel ini bermaksud sedikit memberi gambaran betapa sulit upaya membenahi pelayanan publik di kementerian penjaga moral bangsa. M. Jasin bukan saja menumpas oknum tangan kotor, tetapi memberi keteladanan agar ASN memberikan pelayanan kepada publik dengan baik. Ia pun kini dikenang dengan hasil kerja kerasnya berupa nikah geratis.

Kegembiraan pasangan pengantin seusai nikah dengan biaya murah. Foto | Dokpri
Kegembiraan pasangan pengantin seusai nikah dengan biaya murah. Foto | Dokpri
**

Jika urusan nikah pada saat pandemi Covid-19 dewasa ini tarifnya masih tetap "melangit" alias mahal, maka betapa banyaknya umat Islam terbebani urusan ijab kabul.

Mahalnya biaya nikah juga berpotensi mendorong tingginya nikah siri.

Berbelitnya urusan birokrasi mengurus nikah sangat menjengkelkan. Untuk mendapat pelayanan, warga dipaksa harus paham ada yang perlu didahulukan seperti melintasi "salam hangat" dari satu meja ke meja berikutnya.

Di sisi lain sebagian umat muslim paham bahwa nikah siri adalah bentuk pernikahan berdasarkan aturan agama.Nikah ini tidak diumumkan kepada khalayak luas dan tak tercatat di kantor urusan agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil.

Nikah siri (nikah di bawah tangan) dianggap sah menurut agama. Pelaku nikah siri menempuh cara demikian karena tak ingin pernikahannya diketahui orang banyak. Padahal pernikahan ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi antara lain diketahui orang banyak.

Patut disyukuri. Kini urusan itu semua dapat teratasi meski masih terlihat secara sembunyi pemberian gratifikasi kepada aparat sipil negara (ASN).

Pada awal 2000-an ke bawah, keluhan urusan menikah mengemuka. Kala itu, para orangtua jauh hari memikirkan terkait pemilihan calon mantu dan urusan yang tidak dapat dipandang ringan yaitu ijab kabul dalam pernikahan.

Nikah dimana? Kapan? Siapa penghulunya? Siapa yang menjadi penghubung antara pihak orangtua dengan panitia pernikahan dengan penghulu? Pendek kata, urusaan yang beginian harus ada personal in charge (PIC).

Semua itu jangan sampai rundown (detail urutan acara dan waktu sebuah program acar) ijab kabul yang dirangkai resepsi pernikahan menjadi berantakan. Mengingat lagi, ijab kabul nikah sebagai acara inti bagi kalangan tertentu memiliki nilai sakral dan dimaknai dapat membawa keberkahan bagi dua insan yang akan menjalani kehidupan baru.

Di suatu daerah untuk menggelar pernikahan harus melalui perhitungan matang. Jam dan hari dihitung dengan mengaitkan tanggal kelahiran dari kedua calon pengantin. Sering pula terdengar, kedua orangtua harus berkonsultasi dengan pemuka adat atau agama sebelum memutuskan kapan acara nikah dapat dilaksanakan. Hmmm terasa repotnya bagaimana menjadi orangtua?

Keadaan menjadi runyam ketika para orangtua mendapat kabar dari anggota keluarganya bahwa tarif nikah mahal. Karena itu, alokasi anggaran ijab kabul harus menjadi perhatian. Semua itu jangan sampai terjadi bapak penghulu setengah hati menunaikan kewajibannya.

Sungguh, hingga 2010 masih terdengar besarnya tarif penghulu yang akan bertindak sebagai pimpinan acara ijab kabul nikah.

Penulis pun sering mendapati orangtua "kasak-kusuk" menghubungi kerabatnya. Beruntung jika ia mendapati anggota keluarganya bekerja di Ditjen Bimas Islam, Kementerian Agama. Tujuannya, ya tidak lain, dapat menghubungi penghulu agar tarifnya pun tidak terlalu mahal.

**

Bersamaan dengan itu, di internal Kanwil Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) terjadi "perseteruan" penghulu kepada kepala kanwil di beberapa daerah terkait "mahar" agar posisi kepala KUA tak digeser dari lahan "basah" ke daerah terpencil. Lalu, di ranah publik muncul kesan kuat bahwa penghulu berkantong "tebal".

Di luar itu, terjadi pertarungan sengit. Penghulu protes Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) lantaran menyebut para penghulu sering menerima gratifikasi. KPK mengingatkan agar penghulu untuk tidak menerima uang tanda terima kasih (lagi) dalam acara pernikahan.

Pemberian bingkisan (makanan dan kue) dari keluarga mempelai kepada Petugas Pencatat Nikah (PPN) digolongkan gratifikasi atau tindakan korupsi. Para penghulu murka. Marwahnya terasa diusik.

Lalu, protes keras datang dari Forum Komunikasi Kepala KUA (FKK-KUA) se-Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka pun akan mengirim bingkisan itu ke Kantor KPK di Jakarta.

Di tengah kontroversi soal penghulu terima gratifikasi itu, Kordinator FKK-KUA Jawa Timur, Samsu Tohari, mengelurkan pernyataan "pedas". Seluruh penghulu akan mengikuti kesepakatan, yaitu menyerahkan bingkisan. Biar yang makan KPK.

**

Boleh jadi, andai profesi penghulu disamakan dengan modin, pemandi mayat, juru azan, muazin, pegawai masjid, atau pun lebai di kampung, tentu pegawai KUA tidak dituduh sebagai penerima dana gratifikasi.

Beranjak dari pemikiran itu, mencuat ke permukaan, daripada terus-menerus penghulu dianggap sebagai penerima suap, disarankan, bagaimana jika pelayanan publik itu diserahkan kepada masyarakat?

Kita memahami bahwa penghulu dengan kedudukannya sebagai ASN tidak dibenarkan menerima imbalan. Lantas, dengan penuh kesadaran, para penghulu menolak menikahkan pasangan pengantin di luar jam kantor atau pada hari libur.

Tindakan itu sebagai bentuk solidaritas terhadap Romli, pegawai KUA Kediri yang diseret ke meja hijau lantaran dituduh menerima dana gratifikasi. Wiuh, betapa rumitnya saat itu terkait soal penghulu menerima imbalan ini.

Lantas, sikap Menteri Agama bagaimana? Suryadharma Ali yang ketika itu memimpin Kemenag menyatakan, tak bisa menghalangi penghulu untuk membatasi pelayanan pernikahan di luar jam kantor atau hari libur, yaitu mulai 1 Januari 2014 tidak ada lagi pelayanan di luar balai nikah guna menghindari praktik menerima gratifikasi.

Di hadapan Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI), disebutkan bahwa tindakan itu bukan bentuk pemogokan, melainkan hanya membatasi pelayanan kepada warga yang hendak menikahkan anggota keluarganya di luar jam kantor atau pun pada hari libur.

Pembatasan pelayanan itu diarahkan untuk menjaga kehormatan dan martabat penghulu guna menghindari penilaian bahwa mereka menerima gratifikasi dari keluarga shahibul bait atau tuan rumah ketika menikahkan pasangan pengantin di luar jam kantor atau pada hari libur.

Hal itu dipandang sebagai wujud dari makin tingginya kesadaran hukum para penghulu. Mengingat saat itu masih ada kesan bahwa budaya pemberian amplop dari tuan rumah kepada penghulu dianggap sebagai kearifan lokal.

Sejatinya kewajiban penghulu saat jam kerja. Di luar jam kedinasan, para penghulu tak pernah menerima dana operasional. Sasyangnya, meski Kemenag mengimbau agar umat Islam menikah di KUA, senyatanya tak dipatuhi.

Perlu dipahami bahwa posisi penghulu di tengah masyarakat adalah sebagai pelayan. Dalam setiap kegiatan pernikahan, ia harus memperhatikan unsur agama, budaya, tradisi, gengsi, dan klenik. Jadi, ya bukan sebatas urusan administrasi semata.

Di sini uniknya. Sehingga, sekali lagi, dana gratifikasi yang diterima penghulu selama itu dikaitan dengan kearifan lokal di tiap daerah.

**

Diangkatnya mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dr. Mochammad Jasin menjadi Irjen Kemenag memberi angin segar akan perubahan terhadap citra kementerian itu.

M. Jasin menggantikan Dr. H. M Suparta pada upacara pelantikan yang berlangsung di Gedung Kemenag Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (3/8/2012).

Tanda-tanda perubahan perbaikan di jajaran Kemenag disambut gembira. Tetapi tidak bagi kalangan "tangan kotor" yang selama ini mengobok-obok mencari keuntungan pribadi.

M. Jasin melihat, hasil survei menunjukkan bahwa pelayanan publik dari KUA telah menempatkan Kemenag sebagai lembaga terkorup. Tentu harus diubah.

Saat itu biaya administrasi pernikahan, sesuai aturan, hanya Rp30 ribu. Senyatanya penghulu memungut biaya pernikahan lebih dari itu.

Diperhitungkan jika ada 2,5 juta hajatan pernikahan setiap tahun dengan rata-rata Rp500 ribu setiap hajatan, total pungutan tersebut mencapai Rp1,2 triliun.

Lalu, dari mana M. Jasin harus memulai perbaikannya.

Lembaran peraturan dicermati. Nah, terkait dengan upah penghulu tertulis per acara pernikahan sebesar Rp30 ribu. Ia sepakat dengan KPK, di luar penerimaan itu dinilai sebagai perbuatan menerima suap atau gratifikasi.

Ia pun mencermati bahwa selama ini Pemerintah melalui APBN sejak 2008 mengucurkan dana operasional untuk KUA sebesar Rp2,5 juta per tahun.

Uang sebesar itu diperuntukkan untuk membayar listrik kantor, peralatan kantor atau ATK, air PAM, dan sebagainya. Jelas saja dana operasional seperti itu sangat jauh dari memadai.

Perbaikan harus cepat dilakukan. Martabat para penghulu harus dijaga. 

**

Dimotori Irjen Kemenag M. Jasin, kemudian seluruh pemangku kepentingan terkait dengan polemik pelayanan di KUA melakukan audiensi dengan Komisi VIII DPR RI. Hasilnya menggembirakan. Beberapa keputusan penting didapat, di antaranya perlu pengalokasian anggaran yang dilakukan dengan Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas.

Melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Kepolisian dan KPK. Kemudian, Kemenag mengusulkan kepada KPK untuk menetapkan batasan maksimal pemberian imbalan pelayanan nikah di luar Balai Nikah, dan melakukan sosialisasi kebijakan pelayanan nikah di luar kantor.

Lalu Kemenag merumuskan kebijakan pelayanan nikah di luar balai nikah dan jam kerja kantor. Dengan cara itu masalah gratifikasi terhadap penghulu tidak berlarut-larut dan tidak membikin takut para petugas KUA mengingat ancamannya  penjara.

Penghulu harus berpegang kepada aturan bahwa pemberian apa pun kepada petugas pencatat nikah yang menikahkan pasangan mempelai di luar jam kerja, di luar kantor adalah gratifikasi.

Atas kerja keras M. Jasin dan stafnya, akhirnya umat Muslim memperoleh kemudahan untuk nikah. Hingga kini masih banyak orang mengenang pensiunan KPK itu dengan nikah gratis di KUA.

Sesungguhnya, poin penting dari semua itu adalah terbitnya Peraturan Pemerintah No 48 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku di Kementerian Agama.

Di situ dipertegas, nikah di KUA kecamatan setempat sesuai dengan jam kerja dikenakan tarif Rp0 alias gratis. Bila di luar kantor KUA, maka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp600 ribu.

Mulai dari Dirinya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun