Lalu, protes keras datang dari Forum Komunikasi Kepala KUA (FKK-KUA) se-Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka pun akan mengirim bingkisan itu ke Kantor KPK di Jakarta.
Di tengah kontroversi soal penghulu terima gratifikasi itu, Kordinator FKK-KUA Jawa Timur, Samsu Tohari, mengelurkan pernyataan "pedas". Seluruh penghulu akan mengikuti kesepakatan, yaitu menyerahkan bingkisan. Biar yang makan KPK.
**
Boleh jadi, andai profesi penghulu disamakan dengan modin, pemandi mayat, juru azan, muazin, pegawai masjid, atau pun lebai di kampung, tentu pegawai KUA tidak dituduh sebagai penerima dana gratifikasi.
Beranjak dari pemikiran itu, mencuat ke permukaan, daripada terus-menerus penghulu dianggap sebagai penerima suap, disarankan, bagaimana jika pelayanan publik itu diserahkan kepada masyarakat?
Kita memahami bahwa penghulu dengan kedudukannya sebagai ASN tidak dibenarkan menerima imbalan. Lantas, dengan penuh kesadaran, para penghulu menolak menikahkan pasangan pengantin di luar jam kantor atau pada hari libur.
Tindakan itu sebagai bentuk solidaritas terhadap Romli, pegawai KUA Kediri yang diseret ke meja hijau lantaran dituduh menerima dana gratifikasi. Wiuh, betapa rumitnya saat itu terkait soal penghulu menerima imbalan ini.
Lantas, sikap Menteri Agama bagaimana? Suryadharma Ali yang ketika itu memimpin Kemenag menyatakan, tak bisa menghalangi penghulu untuk membatasi pelayanan pernikahan di luar jam kantor atau hari libur, yaitu mulai 1 Januari 2014 tidak ada lagi pelayanan di luar balai nikah guna menghindari praktik menerima gratifikasi.
Di hadapan Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI), disebutkan bahwa tindakan itu bukan bentuk pemogokan, melainkan hanya membatasi pelayanan kepada warga yang hendak menikahkan anggota keluarganya di luar jam kantor atau pun pada hari libur.
Pembatasan pelayanan itu diarahkan untuk menjaga kehormatan dan martabat penghulu guna menghindari penilaian bahwa mereka menerima gratifikasi dari keluarga shahibul bait atau tuan rumah ketika menikahkan pasangan pengantin di luar jam kantor atau pada hari libur.
Hal itu dipandang sebagai wujud dari makin tingginya kesadaran hukum para penghulu. Mengingat saat itu masih ada kesan bahwa budaya pemberian amplop dari tuan rumah kepada penghulu dianggap sebagai kearifan lokal.