Kala Pak Salim Segaf hadir, seluruh kiayi menyambut dengan gembira.
Kini, penulis masih merasa sedih ditinggalkan. Pidatonya di Padang Arafah kala musim haji masih kuat pula melekat di benak. Haji, katanya, adalah Arafah. Sehingga, bagi yang sakit harus ke Arafah. Menunaikan ibadah haji wajib wukuf di Arafah. Harta, kekayaan, anak cucu yang hebat dan kedudukan mentereng, harus diyakini, tak dapat memberi bantuan.
Wuquf di Arafah sangat dahsyat. Jutaan manusia mau bersusah payah datang dari jauh. Mereka datang dengan penuh pengorbanan harta, tenaga, pikiran, perasaan dan penuh dosa. Dalam ibadah haji, kesucian hati sangat penting untuk mendapatkan hikmah dari haji.
Sungguh, meraih hikmah haji mabrur perlu kesucian hati, zikir yang baik. Dan, diingatkannya bahwa kemabruran haji seseorang terefleksi pada kesalehannya dalam beribadah. Tergambar dalam sikap, tingkah laku dan tutur kata yang senantiasa memberikan kebaikan.
Sehingga dapat memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan, bangsa dan negara. Diingatkan pula, sebaik-baiknya bekal itu adalah taqwa. Kedudukan taqwa di sisi Allah amat penting karena Allah akan mempermudah urusan, mudah diberi rezeki dan bahkan ilmu.
Pesan ini, lagi-lagi, sering terngiang di telinga penulis. Dan, kita pun patut bertanya, sudahkah kita yang ditinggalkan, para santri dan orang-orang yang mengaku sebagai ulama, mengindahkan pesan almarhum.
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H