Andai saja diri ini menjabat sebagai Menteri Agama di negeri ini, seluruh santri dari berbagai pondok pesantren akan diperintahkan untuk menggelar sholat ghaib bagi KH A. Zarkasyi.
Anda saja orang lupa akan jasa KH A Zarkasyi, akan saya bacakan riwayat hidupnya sehingga mata dan hatinya terbuka bahwa sosok kiyai itu demikian besar jasanya bagi para santri seperti sekarang ini.
Andai saja orang tak paham tentang peran pondok pesantren, maka penting dijelaskan tentang sosok KH A Zarkasyi lantaran ia demikian besar dedikasinya dalam memajukan dan meningkatkan pendidikan umat melalui perjuangannya.Â
Kata Bung Karno, Bapak Proklamator yang kita cintai, jangan sesekali melupakan Jasmerah. Jangan melupakan sejarah. Ungkapan itu juga berlaku bagi kalangan santri, jangan melupakan perjuangan para kiyai dalam membela negeri ini dari tangan penjajah.
Kiyai atau ulama demikian besar perannya dalam memajukan negeri ini. Termasuk di dalamnya KH A Zarkasyi. Sungguh, pada Hari Santri Nasional ini penulis merasa sedih. Di tengah pandemi Covid-19, kita kehilangan tokoh pendidik yang kita cintai KH A Zarkasyi.
KH Abdullah Syukri Zarkasyi, demikian nama lengkap KH Zarkasyi, wafat pada Rabu (21/10/2020), sekitar pukul 15.50 WIB di Rumah Gontor. Sehari menjelang Hari Santri Nasional.
KH Abdullah Syukri Zarkasyi lahir di Gontor pada tanggal 19 September 1942. KH Abdullah Syukri Zarkasyi adalah putra pertama dari KH Imam Zarkasyi salah seorang Trimurti Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor.
Semasa hidupnya, KH Abdullah Syukri Zarkasyi dikenal sebagai ulama kharismatik. Ia sangat peduli pada nasib umat dan bangsa, serta sangat dicintai masyarakat.
Ada perasaan tak percaya bahwa KH Abdullah Syukri Zarkasyi sudah meninggalkan kami hampir sepekan. Di benak penulis masih terbayang wajah terduhnya ketika membimbing penulis di Mekkah menjelaskan tentang pernak-pernik haji, termasuk ritual ibadah itu yang harus dipahami penulis.
"Menunaikan ibadah haji itu berat. Namun menjadi ringan bilamana dilaksanakan penuh keikhlasan," katanya kepada penulis di teras halam kantor Daerah Kerja (Daker) Mekkah pada 2007.
Esensi dari haji adalah untuk meneladani Nabi Ibrahim AS, yang tidak takut kehilangan materi, jabatan, dan juga takut miskin, tapi bagaimana menjadi manusia yang merdeka
Ucapan Pak Kiyai ini terus membekas dan merasuk ke dalam hati penulis. Setelah itu, beberapa tahun ke depan, kami sering bertemu di berbagai kota di Tanah Air kala ia melakukan kunjungan kerja bagi pengembangan Pondok Pesantren Gontor di berbagai provinsi.
Kami pernah bertemu di Aceh, Riau dan mendatangi Pondok Pesantren Gontor. Kala Menteri Agama dijabat Muhammad Maftuh Basyuni, KH Abdullah Syukri Zarkasyi menjabat sebagai wakil amirul haj.
Setelah itu, posisi penulis layaknya seperti seorang santri. Sebab, kala penulis beberapa kali sebagai petugas media center haji, pak kiyai selalu memantau perkembangan jemaah haji dari Indonesia. Ia pun melalui telepon di tanah air memberi bimbingan kepada penulis.
Penulis pun pernah melaporkan prihal tayangan film profil Pondok Pesantren Gontor di salah satu stasion televisi Arab Saudi. Lengkap, mulai kegiatan ibadah, ekstra kulikuler seperti ilmu bela diri hingga tampilan santri yang tidak pernah lepas mengenakan sarung.
Sebelum Pak Kiyai jatuh sakit, kami sempat bertemu di Pondok Pesantren Gontor. Ada yang menarik dalam kunjungan ke lembaga pendidikan ini kala itu.
Kala itu, penulis bersama Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri mengunjungi beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Kebetulan kami berada di Kabupaten Ponorogo. Kepada bapak menteri, penulis katakan, harus mampir ke Pondok Pesantren Gontor.
"Kalau tak ke sana, kita kualat," kata penulis kepada pak menteri ketika itu.
Spontan, Pak Salim Segaf tanpa berfikir panjang mendatangi pondok pesantren itu. Nah, sebelum tiba di pondok itu, penulis lebih awal tiba bersama beberapa teman. Di situ, kami diterima KH Abdullah Syukri Zarkasyi.
Ketika itu pula, rasa rindu penulis terasa terobati. Kami berkeliling pondok dengan mobilnya. Lagu-lagu lawas ikut disetelkan untuk menghibur penulis sehingga terasa riang kala itu. Suasana penuh tawa.
Kala Pak Salim Segaf hadir, seluruh kiayi menyambut dengan gembira.
Kini, penulis masih merasa sedih ditinggalkan. Pidatonya di Padang Arafah kala musim haji masih kuat pula melekat di benak. Haji, katanya, adalah Arafah. Sehingga, bagi yang sakit harus ke Arafah. Menunaikan ibadah haji wajib wukuf di Arafah. Harta, kekayaan, anak cucu yang hebat dan kedudukan mentereng, harus diyakini, tak dapat memberi bantuan.
Wuquf di Arafah sangat dahsyat. Jutaan manusia mau bersusah payah datang dari jauh. Mereka datang dengan penuh pengorbanan harta, tenaga, pikiran, perasaan dan penuh dosa. Dalam ibadah haji, kesucian hati sangat penting untuk mendapatkan hikmah dari haji.
Sungguh, meraih hikmah haji mabrur perlu kesucian hati, zikir yang baik. Dan, diingatkannya bahwa kemabruran haji seseorang terefleksi pada kesalehannya dalam beribadah. Tergambar dalam sikap, tingkah laku dan tutur kata yang senantiasa memberikan kebaikan.
Sehingga dapat memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan, bangsa dan negara. Diingatkan pula, sebaik-baiknya bekal itu adalah taqwa. Kedudukan taqwa di sisi Allah amat penting karena Allah akan mempermudah urusan, mudah diberi rezeki dan bahkan ilmu.
Pesan ini, lagi-lagi, sering terngiang di telinga penulis. Dan, kita pun patut bertanya, sudahkah kita yang ditinggalkan, para santri dan orang-orang yang mengaku sebagai ulama, mengindahkan pesan almarhum.
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H