Tuan Guru melihat langsung pekarangan belakang rumah milik Ibu Melati. Wajahnya terlihat kecewa berat. Marah. Ia seperti orang yang baru merasakan tim kesebelasan kesayangannya dikalahkan pihak lawan.
Sambil berdiri, pandangannya seperti tengah melahap apa yang disaksikan. Dicermati satu per satu benda-benda yang muncul di hadapannya.
Kemudian ia menarik nafas panjang.
"Astagfirullahadzim. Berat," katanya sambil melangkah dengan nada perlahan.
Namun langkahnya terhenti ketika menuju ruang tengah. Seolah ia tak percaya, kembali balik ke pekarangan belakang untuk kembali melihat benda-benda yang terlihat pada pandangan pertama.
Ia mencermati beberapa benda asing, bangunan rumah dengan bentuk aneh. Tentu saja bangunan tersebut tidak dimiliki kebanyakan warga di Desa Peniti. Sebuah desa terpencil yang hanya diisi satu-satunya bangunan megah milik Ibu Melati.
Tuan Guru menarik nafas dalam lagi. Melangkah ke depan dengan didampingi anggota keluarga terebut.
Setelah duduk di ruang tamu, di situ sudah duduk Ibu Melati bersama suaminya Pak Tejo. Beberapa anggota keluarga juga ikut hadir.
"Silakan minum dulu, Tuan Guru?" pinta Ibu Melati dengan suara perlahan sambil menahan rasa sakit di dadanya.
Lalu, sang ibu itu membuka pembicaraan. Ia bercerita tentang sakitnya yang sudah lama namun dokter tak kunjung mampu mengobatinya.
"Saya sudah paham," kata Tuan Guru.
Lalu Tuan Guru menambahkan penjelasannya bahwa mengapa  ia langsung mendatangi pekarangan belakang rumah begitu masuk rumah ini.
Ibu Melati yang mendengar ucapan Tuan Guru seperti itu, nampak kaget. Pandangannya terfokus kepada Tuan Guru penuh curiga. Sedari awal kedatangan Tuan Guru, Â sang ibu ini sudah bertanya-tanya dalam hati.
Lantas, Ibu Melati cepat-cepat membenarkan letak duduknya. Serius memperhatikan setiap kata yang meluncur dari mulut Tuan Guru.
Pada awalnya Ibu Melati terlihat lemas. Kini badannya seolah tegap dan matanya yang tajam terus menerus memandang tamu yang diundangnya itu.
*
Ibu Melati sudah lama menderita sakit. Kekayaannya seperti terkuras habis untuk biaya berobat. Berbagai dokter spesialis sudah didatangi untuk dimintai pertolongan agar sakit di dadanya segera sembuh. Penderitaan itu sudah cukup lama dirasakannya.
Lantaran tak kunjung sembuh itulah maka Ibu Melati memanggil seorang guru ngaji atau ustaz dari Nusa Pati, sebuah kampung yang lokasinya berseberangan dengan Desa Peniti. Hal Itu dilakukan sebagai pilihan terakhir, berobat ke alternatif seperti yang banyak dianjurkan anggota keluarga.
Lantaran pengobatan itu menyangkut keleluasaan sang pemilik rumah, Tuan Guru minta agar pengobatan didahului dengan pembicaraan dalam ruang tertutup. Konsultasi.
Ya, hanya Ibu Melati dan suaminya, Tejo, ikut menyaksikan apa yang hendak disampaikan Tuan Guru.
**
Seusai Tuan Guru meninggalkan kediaman rumah Ibu Melati, ribut besar tak terhindarkan. Gaduh. Seperti perang yang tengah berlangsung sengit diselingi suara teriakan.
Sang suami bertahan pada pendapatnya. Namun Ibu Melati menghendaki untuk ikut nasihat Tuan Guru. Semua itu dimaksudkan agar rasa sakit yang hinggap di dirinya segera enyah. Kabur.
"Abang tidak merasakan betapa sakitnya dada ini. Bernanah pula?" teriak Ibu Melati sambil menangis.
"Tidak, sayang!"
Kalau kita menuruti nasihat Tuan Guru, kita bakal miskin. Tak ada orang sekitar menaruh hormat lagi.
Pengalaman menjadi orang miskin sungguh menyakitkan, kata sang suami sambil merendahkan nada suaranya.
Kala mereka bertengkar, sang suami, Tejo, perasaannya terbelah. Masih menaruh rasa sayang kepada isterinya. Di sisi lain ia terbayang ketika menjalani kehidupan miskin. Miskin lagi. Â
Andai ia menuruti nasihat Tuan Guru, kandang-kandang tuyul di pekarangan belakang rumah harus dihancurkan.
Mengapa?
Ya, karena tuyul-tuyul itu setiap hari harus hadir. Tuyul harus dilayani dengan cara menetek kepada  Ibu Melati. Jika tak diberi, mereka tak mau bekerja. Menolak perintah.
Bila Ibu Melati tak melayani para tuyul peliharaannya, ya kemiskinan segera hadir. Dan, kematiannya pun sudah menanti.
Salam berbagi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI