Rabu (23/9) siang menjadi hari berharga bagi penulis. Sebab, tanpa sengaja, seorang tukang jahit keliling memberi pelajaran tentang makna cinta dari seorang perempuan.
Rozi, pria berusia 40 tahun, beranak tiga asal Palembang, Sumatera Selatan, punya pengalaman pahit dalam kehidupan rumah tangga. Ia harus jungkir balik menafkahi anak-anaknya setelah isterinya "minggat". Lalu, sang isteri menggugat dirinya untuk bercerai.
Ia juga punya pengalaman indah dari seorang perempuan. Perempuan yang baru dikenalnya itu memberi dorongan sehingga ia dapat memaknai hidup harus bermanfaat bagi sesama, termasuk anggota keluarga.
Perempuan itu bisa lembut dan bisa garang seperti beruang ketika berhadapan dengan manusia. Kala suami tak beruang, cinta pun bisa berubah sekejap menjadi malapetaka hanya lantaran persoalan sepele dalam rumah tangga. Tak jauh dari ungkapan kala ada uang, abang pun disayang.
Tetapi, jangan sama-ratakan perempuan mata duitan. Matre, kata anak sekarang.
Di tepi jalan, ketika ditawari untuk datang ke rumah, Rozi menyahut dan berjanji akan datang. Dengan mengayuh sepeda dilengkapi mesin jahit, ia masuk ke teras rumah. Ia pun lantas menyambut permintaan penulis untuk memotong beberapa lembar pakaian lengan panjang. Semua itu ia selesaikan dengan baik.
Nah, di tengah bekerja, penulis menemani dan mengobrol. Beberapa pertanyaan dijawabnya, mulai ia menjalani profesi sebagai penjahit, asal usul berani merantau ke Jakarta hingga kehidupan rumah tangganya.
Sungguh, hidup di Jakarta harus dijalani dengan kerja keras. Karenanya, ia pun mampu menghidupi anggota keluarga dengan tiga anak. Anak pertama, lelaki kini sudah berusia 22 tahun dan kedua dan ketiga merupakan anak kembar yang sebentar lagi masuk sekolah lanjutan atas.
Tak mau menyebut ketika itu Rozi berkerja sebagai apa. Lantaran berbagai persoalan, ia meninggalkan kerjanya yang sudah lama digeluti lalu beralih sebagai tukang jahit keliling.
Baginya, yang penting anggota keluarga tidak kelaparan. Namun sayang, kala anak sudah besar, isteri yang dicintai menggugat cerai. Rozi sedih.
*
Persoalan sepele selalu diangkat sebagai bahan pertengkaran. Dalam suasana sedih, tak disangka isterinya meninggalkan rumah. Beberapa bulan berikutnya, datang surat dari pengadilan agama bahwa ia tengah digugat cerai.
"Siapa yang tak merasa sedih. Sudah jatuh miskin, ditinggal isteri lalu digugat cerai," katanya.
Alasan permintaan bercerai itu, tak masuk akal. Salah satunya ia dituduh punya kelainan dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Disebut dalam gugatan sang isteri, Rozi selalu minta "jatah" setiap malam.
"Ampun," katanya yang disambut tawa penulis.
Hingga kini ia berjanji pada diri sendiri tidak akan melayani panggilan pengadilan agama terkait dengan gugatan cerai isterinya itu.
Ia berharap sang isteri bercermin pada diri sendiri. Anak-anak telah menjadi korban nafsu mementingkan diri sendiri. Anak-anak pun tahu bahwa ayahnya sering diperlakukan kasar. Bahkan marah ketika ayahnya diludahi.
"Sungguh terlalu," kata Rozi sambil menarik nafas dalam-dalam.
**
Sudahlah. Prihal keganasan isterinya -- yang tak mau disebut namanya -- telah dijadikan penyemangat dalam menjalani kehidupan.
Ia mengaku, di tengah pandemi Covid-19 ini, Â banyak merenung. Menjadi tukang jahit keliling ternyata membawa dirinya lebih mengenal sang pencipta.
Meski belum pernah bertatap muka secara langsung, ia gembiara. Kenapa? Karena Fatimah selalu mengingatkan dirinya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Caranya bagaimana, disarankan ia harus memperbanyak shalat malam dan tak boleh meninggalkan shalat lima waktu.
"Baru kali ini ada perempuan mengingatkan untuk shalat," ujarnya.
Rozi mengaku kini merasa tentram. Damai. Ia pun sudah mencurahkan isi hatinya, termasuk pengalaman kehidupan rumah tangga yang dijalaninya. Pahitnya kehidupan disampakan kepada Fatimah.
Pandangan Rozi tentang perempuan kini berubah. Tidak semua perempuan "mata duitan". Contohnya, perempuan asal dari Padang itu.
Sesungguhnya cinta tak boleh hancur hanya karena kita kekurangan uang. Apa lagi miskin. Uang bukanlah segalanya, meski tetap dibutuhkan karena tanpa uang makna hidup jadi hilang. Maka, jadikanlah uang sebagai instrumen bagi kita untuk meningkatkan amal saleh.
Maka, Rozi tak merasa malu lagi menjalani profesi sebagai tukang jahit keliling. Bekerja harus pula dimaknai sebagai ibadah. Mencari uang harus diiringi keikhlasan dari hati terdalam. Karena itu, di tengah mengais rejeki itu, ia selalu menyempatkan diri ke masjid untuk shalat jika sudah masuk waktu.
Nah, ketika ia mendapat hadiah sajadah dan Alquran dari penulis, meluncur dari mulutnya ucapan rasa syukur disertai doa moga-moga dirinya menjadi manusia bermafaat.
Salam berbagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H