Bukan satu atau dua orang saja, tetapi lebih dari empat kepala keluarga. Sementara orang yang seharusnya tidak menerima, eh tahu-tahunya menerima. Ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Tetapi ada pula warga asli penduduk setempat marah-marah lantaran merasa tidak dihormati karena tidak menerima bantuan.
Padahal ia orang mampu. Jadi, bantuan itu dipandang sebagai suatu kehormatan. "Enggak malu, tuh," ujar sang ustaz.
"Ini orang sesat pikir," tambah sang ustaz sambil melempar senyum.
Kalau dihitung, jumlah bantuan yang disalurkan kepada warga berhak menerima tak sesuai dengan jumlah orang di lapangan. Artinya, bantuan sedikit tetapi penerimanya lebih banyak.
Bagaimana solusinya? Sang ustaz mengambil jalan tengah bagi warga yang sudah "hengkang" dari RT setempat namun didaftar menerima bantuan, bantuannya tak diberikan. Tetapi disalurkan kepada warga miskin lainnya yang memang membutuhkan.
Tentu saja itu masih kurang. Solusinya, itu rahasia pak ustaz. Pokoknya, pelaksanaan pembagian sembako yang berlangsung hingga sore hari itu tidak menimbulkan gaduh.
Untuk ke depan, ia berharap pembagian sembako bagi warga miskin sebagai dampak pandemi Covid-19 atau virus corona itu dapat dilaksanakan dengan baik. Siapa yang harus bertanggung jawab, siapa pula yang berhak menerima bantuan. Harus jelas.
"Kita ingin segera ada perbaikan," harap sang ustaz.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H