Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernahkah Kasus Nikah Mut'ah Digelar di Pengadilan (Agama)?

19 Februari 2020   08:49 Diperbarui: 19 Februari 2020   16:03 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhatikan ijab kabul nikah kontrak (mut'ah) kata dan tata kalimatnya di bawah ini. Pelototi dengan baik karena dari sini bisa terlihat betapa terhinanya kaum hawa diperlakukan.

Di suatu lokasi tersembunyi seorang lelaki melakukan akad nikah dengan ijab kabul sebagai berikut, "Aku menikahimu selama satu bulan (setahun)." Kemudian, perempuan itu menjawab, "Aku terima."

Maka masa nikah suami-istri yang mengangkat ijab kabul di hadapan penghulu tadi akan berakhir dalam waktu sesuai dengan ijab kabul tersebut.

Pertanyaannya, adakah di Tanah Air dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kementerian Agama (Kemenag) menyediakan penghulu untuk akad nikah mut'ah?

Jika jawabannya iya, bisa jadi Kemenag ikut melegalkan nikah mut'ah. Karena dilegalkan, maka tentunya pernikahan yang waktunya ditetapkan tadi harus tercatat. Namun bila Kemenag tak menyediakan penghulu, kita pun bisa mengambil kesimpulan bahwa pernikahan itu ilegal.

Lantas, dari mana para penghulu di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, didatangkan?

Sudah tentu orang yang bertindak sebagai penghulu adalah oknum yang menjual ayat dan menghalalkan sesuatu apa yang diharamkan agama. Para penghulu gadungan ini disiapkan panitia khusus, termasuk menyiapkan perempuannya.

Diwartakan, Polres Bogor menangkap empat pelaku dan enam korban praktik kawin kontrak di kawasan Puncak. Orang-orang yang terlibat kawin mut'ah alias kontrak itu kebanyakan memiliki kontak person dengan para mucikari yang menguasai Bahasa Arab.

Kebanyakan di antara mucikari itu adalah mantan tenaga kerja di Timur Tengah. Nah, melalui merekalah para tamu dari Timur Tengah itu ditawari untuk melakukan kawin kontrak dengan perempuan asli Indonesia.

Para muncikari yang kebanyakan berporfesi sebagai sopir itu juga menawari tamunya beberapa wanita melalui aplikasi WhatsApp (WA).

Bupati Bogor Ade Yasin membenarkan enam desa di kawasan Puncak kerap dijadikan lokasi kawin kontrak. Dari hasil penelitian Pemerintah Kabupaten Bogor, didapati tarif kawin kontrak di enam desa tersebut mulai dari Rp5 juta sampai Rp20 juta. Rentang waktu kontrak mulai dari satu hingga dua bulan.

Wuih, jadi Pemda setempat sudah tahu lama tentang kelakuan para tamu dari Timur Tengah dan mucikari lokal.

**

Nikah mut'ah di kalangan penganut Syiah seperti Irak dianggap legal. Tidak heran, orang Indonesia yang tengah bertandang ke negeri itu bisa terperangkap nikah mut'ah lantaran ketidaktahuannya mengenai kultur negeri itu.

Ada seorang mahasiswa bertandang ke kediaman rekannya yang perempuan. Sebagai mahasiswa baru, wajar mendatangi rekannya. Namun ada keanehan, dari kejauhan dilihat di kediaman rumah rekan yang akan didatangi sudah banyak orang. Beruntung ia membawa rekan mahasiswa lokal yang menginformasikan dirinya akan dinikahkan.

Tahu akan dinikai secara mut'ah, sang mahasiswa itu sebelum masuk mengucap salam, balik badan. Ia mengambil langkah seribu. Kabur. Hehehe..   Padahal di kediaman sang wanita tadi sudah tersedia makanan lezat dan sambutan dari anggota keluarganya. Hmmm

Kaum syiah dengan pahamnya nikah mut'ah yang demikian kuat melekat hingga kini masih banyak dijunjung oleh umat Islam. Utamanya dari kelompok syiah.  Bahkan di masyarakat kita masih berkembang perdebatan cara perkawinan mut'ah disejajarkan dengan nikah siri.

Di rubrik ini, penulis pernah mengungkap bahwa bagi masyarakat dan ulama yang merasa keberatan dengan nikah siri dan mutah didorong upaya melindungi kelompok perempuan dan dampak buruk yang ditimbulkan dari sisi hukum negara. Realitas, peristiwa pahit bagi anak-anak dan derita yang dialami para janda sudah banyak digaungkan.


**

Dari perspektif agama, nikah mut'ah (termasuk siri) dampak buruknya sudah jelas.  Hak anak terabaikan.

Realitasnya, masih adanya di sebagian etnis bahwa menjalani nikah siri dan mut'ah didasari alasan ingin mendapatkan keturunan dari pihak lelaki terpandang di masyarakat setempat. Tinggi status sosialnya dari sisi harta dan jabatan, terutama 'kebolehannya' dalam ilmu agama. Di sini, nikah siri dan mut'ah seperti sudah menjadi bagian dari budaya setempat.

Ada orang tua menyorongkan anak gadisnya untuk dinikahi. Bahkan di daerah lain masih kuat budaya nikah dini untuk mencari status janda. Maka, melakoni nikah mut'ah bolelah.  Nikah siri dan mut'ah oleh kalangan Sunni -- di Indonesia - tidak diperbolehkan Penganut Sunni menyebut hal itu cukup terjadi pada masa peralihan dari zaman jahiliah kepada Islam, ketika zina menjadi perkara yang biasa dalam masyarakat. Tapi, ingat, penganut Islam lainnya seperti Syiah masih menjunjungnya.

Kabarnya, kini penyakit Aids melanda kota suci kaum syiah. Pasalnya, kaum syiah memperkosa tahanan wanita sunni, serta memut'ah gadis sunni agar masuk neraka. Dasarnya adalah keyakinan syiah itu sendiri. Bila wanita sunni diekskusi/ dibunuh dalam keadaan masih perawan maka dipahami bisa masuk surga. Agar masuk neraka maka harus dinikah secara mut'ah dulu.

Jadi, hal itu merupakan penyesatan.

Terkait hal itu, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) jauh hari sudah mengantisipasi dampak buruk tersebut. Maka pada 25 Oktober 1997 dikeluarkan fatwanya, bahwa kawin kontrak atau mut'ah hukumnya haram.

Sementara aparat berwajib yang melakukan razia nikah mut'ah di kawasan puncak menggunakan pasal -- pasan terkait UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang dengan ancaman lima tahun penjara.

Tegasnya, mereka itu dikenakan Pasal yang dikenakan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.  

Pandangan penulis, jika pasal-pasal itu yang dikenakan sangat mungkin pelakunya dapat lolos dari jerat hukum. Sebab, logika kita menuntun bahwa orang-orang yang diperdagangkan itu kebanyakan masih anak-anak.

Ini bisa dilihat pada kasus gadis-gadis dari kota Singkawang yang dibawa ke Taiwan lantas dikawini warga setempat. Sedangkan di Puncak, kebanyakan perempuan dewasa bahkan sudah emak-emak. Apa lagi nikah mut'ah masih dianggap legal di sebagian penganut agama Islam.

Jadi, pantas saja, kasus kawin mut'ah tak pernah digelar di pengadilan (agama).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun