Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selamat Natal untuk Umat Kristiani

24 Desember 2019   14:32 Diperbarui: 24 Desember 2019   14:55 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ucapan Selamat Natal | facebook.com/Patrick.Hunter.Art

Sungguh, dulu ketika ingin menulis ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani tarasa takut. Realitasnya, hal itu tetap dilakukan ketika berjumpa dengan teman, saudara dan famili yang menganut agama Kristiani.

Sungguh, dulu untuk menyampaikan ucapan selamat Nyepi kepada penganut Hindu terasa takut. Padahal ketika berjumpa di pertemuan RT atau kelurahan terasa tak ada beban menyampaikan ucapan selamat Nyepi.

Sungguh, ketika tiba hari Waisak yang dirayakan umat Buddha merasa takut menyampaikan ucapan selamat kepada rekan yang merayakannya lewat media sosial. Padahal, diri sering hadir di kelenteng untuk menyaksikan perayaan tersebut sambil meliput.

Demikian juga pada perayaan hari besar lainnya, seperti Cap Go Meh dan hari besar Cina, penulis menyampaikan ucapan selamat. Bahkan, ketika bermukim di Kalimantan Barat, ritual Cap Go Meh di Singkawang disaksikan sejak awal hingga akhir sebagai bahan laporan untuk media massa.

Sungguh, pada awal menulis tentang keagamaan, terlebih menyangkut ucapan selamat Natal, diri merasa takut. Pertama, takut tulisan dihapus oleh admin Kompasiana. Kedua, takut menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan alias SARA. Ketiga, dituduh telah pindah aqidah (agama).

Meski prihal rasa takut tersebut sudah hilang, namun masih sedikit membayangi. Pasalnya, takut didatangi para kadal gurun. Mereka bisa jadi atas nama agama memaksa umat Muslim yang menyampaikan ucapan Natal dimintai untuk beristigfar. Minta ampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Maklum, masalah agama adalah ranah sensitif. Tuduhannya pun bisa memerahkan telinga. Karenanya, jangan mencoba berceloteh mengatasnamakan agama (apa pun) jika tidak memahami duduk persoalannya secara proporsional. Apa lagi memahami agama hanya kulit luarnya. Sudah betul menurut keyakinan kita masih berpotensi disalahkan.

Tapi, daripada kemerdekaan mengeluarkan pendapat terkekang, terbelenggu, maka rasa takut tadi harus diatasi. Kemerdekaan menulis harus direbut. Tentu, sejauh karya tulisan itu bermanfaat dan mencerahkan bagi umat, maka  konstitusi akan melindungi. Bukankah menulis itu juga bagian dari kemerdekaan pers. Tentu, ya harus mengindahkan kode etik.

**

Soal ucapan Natal, yang dirayakan umat Nasrani tiap 25 Desember,  di antara ulama kita berbeda pendapat. Ini menggambarkan bahwa perbedaan adalah sunnatullah, sudah menjadi ketetapan-Nya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta.

Para ulama punya sudut pandang dan dasarnya masing-masing. Coba perhatikan pendapat ustaz yang tengah naik daun, Ustaz Abdul Somad (UAS).

"Ketika Anda mengucapkan 'Selamat Natal', ini sama artinya mengucapkan, 'Selamat Allah sudah melahirkan anak'. 'Selamat Tuhan sudah melahirkan anak pada 25 Desember'," kata UAS dalam suatu kesempatan pada ceramahnya.

Mengucapkan selamat Natal dimaknai mengakui Tuhan punya anak. Padahal dalam Alquran (Surah Al-Ikhlas ayat 3) disebut 'Lam yalid walam yulad' (Dia tidak beranak dan tidak diperanakan). Juga berarti meyakini Tuhan lahir pada 25 Desember. Padahal Nabi Isa Alahisallam lahir pada musim panas, bulan Juli. Mana dalilnya? 'Goncangkan pangkal kurma, akan gugur buah kurma dari atas'. Buah kurma gugur pada bulan Juli."

UAS menyebut, jika seorang Muslim mengucapkan 'Selamat Natal' berarti bagi seorang Muslim telah mengakui Nabi Isa mati dipalang salib. Jadi, semua itu dipandang sebagai bertentangan dengan akidah yang dianutnya.

Berbeda dengan pendapat Profesor Muhammad Quraish Shihab, ahli tafsir dan mantan Menteri Agama ini menyebut mengucapkan selamat hari raya untuk umat beragama lain merupakan hal baik demi kerukunan dan perdamaian. Bukankah ikut bergembira dengan siapa pun atau tidak seagama dengan kita, hal itu baik. Ini menyangkut kemanusiaan. Tidak ada masalah.     

Jadi, pendapat Quraish Shihab, syaratnya boleh mengucapkannya asal akidah anda tidak ternodai. Itu dalam rangka basa-basi saja.

Quraish Shihab menyebut, persoalan ucapan Natal itu hanya di Indonesia. Selama ia di Mesir, diperoleh informasi ulama-ulama Al Azhar berkunjung kepada pimpinan umat Kristiani mengucapkan selamat Natal.

**

Lepas dari pandangan ulama, sejatinya menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani sudah berlangsung lama di Tanah Air. Namun, kok terasa dibesar-besarkan. Sementara umat Kristiani tidak pernah mengemis untuk mendapat ucapan selamat Natal.

Begini. Jika dalam satu keluarga berkumpul pada Liburan tahun baru, ada di antara satu atau dua anggota keluarga berbeda agama. Dari sepuluh bersaudara, bisa jadi dua atau tiga orang beragama Kristiani. Nah, tentu saudara lainnya dalam kesempatan itu menyampaikan ucapan selamat Natal.

Di Indonesia, dalam satu keluarga berbeda agama banyak didapati. Bahkan dalam satu marga di Sumatera berbeda agama tidak menjadikan mereka saling memusihi. Hidup tenang dan harmoni.

Begitu juga di kantor pemerintahan. Ada yang malu-malu mau menyampaikan ucapan selamat Natal. Ada pula yang tak mau, dengan aliasan aqidah, tetapi ketika Idul Fitri menerima ucapan hari Raya itu dari umat beragama lain.

Natal yang berpedoman perayaannya pada kalender Masehi akan disusul dengan perayaan Tahun Baru (2020). Nah, di Indonesia, semua umat yang berbeda-beda agama itu ikut merasakan kegembiraan umat Kristiani. Apakah dia beragama Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, termasuk aliran kepercayaan. Jika mereka tak merasa bahagia, ya paling tidak ikut merasakan hari besar itu untuk berkumpul dengan keluarga masing-masing. Mumpung libur nasional, bisa rekreasi.

Di Indonesia, memang hari-hari besar keagamaan dinyatakan sebagai libur nasional. Bukan hanya Idul Fitri, Idul Adha, 1 Muharam, Isra' Mi'raj, juga pada hari keagamaan lainnya seperti Waisak,  Nyepi, Implek, Kenaikan Isa Almasih dan Jumat Agung.

Pada 2020, hari libur nasional itu bertepatan pada tanggal 25. Perhatikan,  Imlek pada 25 Februari, Idul Fitri pada 24-25 Mei,  dan jelas saja Natal pada 25 Desember. Semua umat ikut merasakan liburan nasional itu.

Namun jika saja kita mengucapkan selamat Tahun Baru kepada sesama rekan, yang juga berpedoman pada kalender Masehi, tentu tidak dimaksudkan mengubah aqidah atau keyakinan. Demikian juga mengucapkan selamat Natal.

Coba perhatikan. Para menteri -- mulai era Kabinet Orde Baru hingga Indonesia Maju -- termasuk menteri agama akan selalu hadir pada perayaan Natal. Tetapi kehadirannya itu tidak pada saat ritualnya, melainkan ketika memberikan sambutan. Dalam sambutan tentu dibumbui kata selamat Natal.

Menteri Agama selalu hadir pada acara perayaan hari besar kegamaan. Dan sampai kini aqidahnya tak berubah. Fachrul Razi adalah menteri agama-agama. Ia bukan menterinya hanya untuk umat Islam. Ia punya kewajiban mengayomi dan melayani semua pemeluk agama-agama.

Nah, tentu, boleh dong, penulis menyampaikan kepada umat Kristiani selamat Natal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun