Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelisik Ular dalam Perspektif Islam

21 Desember 2019   21:35 Diperbarui: 24 Desember 2019   10:30 1924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ular kobra. foto | Kompas.com

Sungguh, penulis menjadi tertawa ngakak ketika mendapati uraian tentang binatang dalam buku (Tafsir Ilmi) Hewan Dalam Perspektif Alquran dan Sains. Pasalnya, penduduk Jazirah Arab pada masa pra-Islam banyak menggunakan hewan sebagai permisalan.

Disebut, ayam jantan menggambarkan manusia yang ringan tangan. Burung puyuh mewakili orang dungu, singa menggambarkan pemberani. Sedangkan kadal merepresentasikan penghianat. Nah, tentang kadal dan burung puyuh ini yang membuat penulis tertawa seorang diri.

Mengapa? Karena media sosial sering menyebut kadal gurun kini dijadikan untuk menggambarkan para penghianat negeri. Mereka menyebutnya kadrun. Siapa yang dimaksud kadal gurun itu? Tentu pembaca bisa mencarinya melalui bantuan mbah google. Demikian juga burung puyuh untuk orang dungu, ingatan terbawa kepada Rocky Gerung, pembicara yang sering mengangkat kata dungu ketika tampil di layar kaca.

Nah, tentang Ular disebut sebanyak lima kali dalam Alquran, kesemuanya berkaitan dengan kisah penjelmaan tongkat Nabi Musa menjadi ular ketika dilempar. Tentang kisah ini mungkin di antara umat Muslim sudah mengetahuinya.

Namun binatang melata yang satu ini, untuk di dalam negeri sering digunakan untuk menyebut seseorang  yang tidak jelas dalam memihak pihak-pihak yang berseteru. Kadang ia mengambil posisi sebagai pengadu-domba antarsesama. Makanya kemudian dikenal sebutan ular berkepala dua.

Tidak sampai di situ saja. Kadang ular dijadikan tamsil untuk menggambarkan seseorang yang digigit ular kemudian akan mendapatkan jodoh. Benar atau tidak, penulis tak tahu persis.

Sekedar ilustrasi, jauh sebelum Islam datang, dalam agama Mesir kuno dikenal pemadanan dewa terhadap hewan. Hewan dipadankan dengan dewa tertentu. Kucing misalnya, dikaitkan dengan Dewa Bastet, belibis dan kera babon dikaitkan dengan Dewa Sebek dan Ra. Ikan dengan Dewa Set, musag dan burung dengan Dewa Horus, anjing dengan Dewa Anabis dan ular dengan Dewa Atum.

Di berbagai negara, juga banyak hewan dijadikan pemujaan. Dulu, warga di Skandinavia dan Asia Timur banyak memuja burung. Sapi dan kerbau diagungkan di Yunani dan Mesir kuno. Anjing dipuja di Nepal, Gajah Putih dianggap suci di kalangan umat Buddha Thailand. Termasuk pula hewan liar lainnya seperti kelinci, serigal, kucing, kera, burung gagak, rajawali dan ular banyak dipuja di kalangan masyarakat di seluruh pelosok bumi.

Kedatangan Islam menempatkan hewan harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Manusia diingatkan agar memperlakukan hewan-hewan dengan baik karena mereka itu memiliki nurani.

**

Kita tahu bahwa reptil adalah satu kelas dari kerajaan binatang yang terdiri atas: ular, kadal, penyu, buaya dan tuatara. Tuatara disebut pula Sphenodon punctatus adalah jenis reptil langka serupa kadal yang hidup di beberapa pulau kecil di sekitar Selandia Baru. Reptil ini belakangan disebut reptil hidup karena dari sisa dari kelompoknya sudah punah jutaan tahun lalu.

Untuk ular, diperkirakan terdiri dari 2.500 jenis. Ular hidup di kawasan panas. Jenis ular sangat variatif, dari yang tidak berbahaya bagi manusia hingga yang memiliki bisa mematikan. Warnanya pun beragam, dari yang polos hingga berwarna indah.

Ukuran ular pun beragam. Mulai ukuran kurang dari 10 cm hingga panjang 17 meter. Persepsi manusia terhadap ular juga bervariasi; sebagian memujanya dan sebagian lainnya membenci. Pengalaman ketika bermukim di Pontianak dan banyak bertugas ke daerah pedalaman Kalimantan Barat, penulis sering menjumpai dalam perajalan ular menyeberang di jalan raya.

Ada rasa gembira ketika berhasil melindas tubuh ular. Ular ukuran satu meter setelah dilindas, melalui kaca spion, terlihat melintir berguling-guling lalu tewas. Namun ketika penulis menjumpai ular besar -- ukuran pralon 3 inci -- seusai menghadiri acara di Hotel Kapuas, Pontianak, malam hari, ada rasa tak percaya. Ularkah ini? tanya dalam hati.

Setelah dilindas, ular tetap bergerak jalan melintasi jalan raya kecil menuju semak parit di samping hotel.

Sejatinya, dengan begitu banyaknya jenis binatang, termasuk ular yang berjalan di atas perutnya, mengajak kita, semua, untuk mengagumi Sang Maha Pencipta. Coba perhatikan, ular bergerak secara unik. Pertama, ular bergerak dengan cara mengelokkan badan -- bisa disebut cara serpentine -- dan kedua menekan tubuh ke tanah dan bergerak maju dengan menggunakan kinerja otot yang dicptakan khusus untuk menunjang gerakannya.

Ketiga, cara caterpiller, yaitu menggerakan kulit dengan bantuan otot yang mengarah maju-mundur. Cara ini lazim digunakan ular berukuran besar. Keempat, menggunakan sisik perut yang lebar untuk memegang bagian tanah yang tidak rata dan maju lurus ke depan.

Kemampuan unik lain adalah cara makan. Dengan fleksibilitas sendi rahang bawahnya ular mampu memangsa berukuran jauh lebih besar daripada ukuran kepalanya. Ular perlu waktu yang relatif lama untuk mencerna mangsanya dengan sempurna. Ular sanca, misalnya, dapat makan sekali dan setahun. Tentang ini, tentu kita masih ingat ada orang disantap ular di kebun sawit yang kemudian ular bersangkutan dibunuh.

Ular memang memiliki keistimewaan. Yaitu, mampu mencari getaran yang disebabkan gerakan makhluk di sekitarnya dengan sangat tepat. Beberapa jenis ular memiliki reseptor gelombang infra merah yang sensitif. Kemampuan itu karena adanya organ yang terletak di antara mata dan lubang hidung. Jadi, dapat melihat radiasi panas dari tubuh mangsanya.

Ular pun memiliki kemampuan untuk mengganti kulit yang tua yang sudah aus, membantu membuang parasit (kutu dan caplak), dan memungkinkan tubuhnya berkembang lebih besar. Ular menelan memangsa tanpa dikunyah. Gigi ular tidak berfungsi untuk mengunyah tetapi sekedar untuk memegang mangsanya.

**

Dr. H. Muchlis M. Hanafi MA ketika memberi kata pengantar terkait isyarat ilmiah Alquran mengungkap hal menarik terkait binatang tersebut. Para mufasir menyatakan bahwa ular masuk dalam kelompok hewan yang boleh dibunuh meski sedang dalam kondisi berihram haji atau umrah.

Ular tidak masuk dalam golongan hewan yang Allah haramkan membunuhnya kepada orang yang sedang berihram. Kita sadar dan paham bahwa ketika seseorang tengah mengenakan ihram, yang bersangkutan dikenakan larangan. Termasuk membunuh binatang buruan.

Namun dalam konteks ini yang dimaksud dalam hal ini adalah binatang yang boleh dimakan. Gagak, elang, kalajengking, tikus, anjing buas, dan ular tidak termasuk di dalamnya.

Ada hal menarik ketika para Sahabat Nabi Muhammad SAW sedang mendengarkan surah al-Mursalat. Pada esensinya, pesan Nabi mengingatkan bahwa di dalam hati manusia masih banyak niat jahat. Nabi melarang membunuh ular yang hidup di dalam rumah. Namun menganjurkan membunuh ular yang berekor buntung dengan dua lajur putih memanjang di punggungnya.

Aku mendengar bahwa Rasulullah melarang kami membunuh ular yang ada di dalam rumah, kecuali ular yang berekor pendek (atau yang putus ekornya) dan mempunyai dua garis lurus berwarna putih di punggungnya. Ular yang seperti ini mampu membutakan mata manusia dan membunuh janin di dalam kandungan ibu hamil. (Riwayat Muslim dan Ahmad dari Abu Lubabah al Ansari).

Ular, dalam perspektif Alquran, digambarkan sebagai makhluk yang akan muncul pada Hari Kebangkitan. Mereka yang lalai dalam berzakat akan diikuti terus dan dipatuk oleh ular belang dengan dua taring mengerikan.

**

Sungguh menarik jika kita membuka lembaran sejarah hubungan manusia dan ular. Dalam berbagai literatur atau kitab suci, ular dianggap sebagai musuh manusia. Betulkah?

Dalam kisah Mahabhrata, Krisne kecil sebagai penjelmaan Dewa Wishnu mengalahkan ular berkepala lima yang dikenal jahat. Dan, di beberapa negara, ular dipuja dan ditinggikan hingga kini. Dalam mitologi Hindu di India, ular memperoleh kedudukan tinggi, hingga tidak ada yang berani membunuh ular kobra secara sengaja.

Beberapa sekte Hindu memuja dan mengkreasikan dewa ular. Sekte Manasa di India, misalnya, mempunyai Dewa Ular bernama Manasa. Hingga kini masih mudah menjumpai perempuan di India menuangkan susu di lubang ular.

Ular dipuja di negara Afrika. Di Mesir, hubungan antara ular dan manusia telah berjalan cukup lama. Lihat, mahkota Firaun juga selalu dihiasi patung ular kobra. Bangsa Sumeria pun sama saja, mereka memiliki dewa ular bernama Ningtzzida.

Suku-suku asli di Benua Amerika pun punya hubungan erat dengan ular. Kebudayaan Astec dan budaya di kawasan Meso-Amerca. Di Eropa kuno pun demikian, terutama Yunani dan Romawi. Dalam mitologi Yunani, ular diasosiasikan dengan mahluk antagonis yang berbahaya dan mematikan.

Dalam budaya Cina, ular adalah salah satu dari 12 hewan suci yang menjadi nama shio dan dimasukkan dalam kalender Cina. Dan, ular juga dijumpai dalam lambang kedokteran, yang mewakili makna farmasi dan obat secara umum.

Jadi, ular sudah lama dimanfaatkan manusia. Kini dimanfaatkan sebagai serum, sedangkan empedu, darah dan daging beberapa jenis ular, seperti kobra (naja spp) sudah sejak lama dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit oleh masyarakat di Asia Timur, terutama Cina.

Di India, ular dijumpai sebagai pertunjukan tarian dengan menggunakan tarian King Kobra (Ophiophagus hannah) yang sangat berbisa. Kulit beberapa jenis ular seperti sanca (phyton reticalatus), ular anacona (Eunectes murnus) dan jenis lainnya banyak digunakan sebagai bahan tas, sepatu dan aksesori lainnya.

Citra yang kurang baik terhadap ular akibat dari dongeng, mitos dan semacamnya ditambah dengan rusaknya habitat ular dan nilai ekonominya yang cukup tinggi, menyebabkan penurunan drastis pupulasi ular di alam.

Dengan paparan di atas, boleh jadi manusia menyukai atau membenci ular. Tetapi, apa pun pilihannya, manusia sudah seharusnya menghargai keberadaan ular. Ular memilih untuk tidak mengabdi kepada manusia. Ular hanya ingin dibiarkan begitu saja dan diperbolehkan apa yang diperlukan dalam usahanya mengabdi kepada Allah.

Memang, hewan janganlah diukur dengan ukuran manusia. Mereka bukan saudara kita, bukan pula bawahan kita. Mereka adalah bangsa tersendiri, yang terperangkap dalam kebersamaan dengan kita dalam jaringan kehidupan dan waktu. Mereka adalah teman sependeritaan manusia di dunia yang gemerlapan dan rapuh. (Henry Beston, seorang naturalis).

Sumber bacaan satu dan dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun