Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelisik Ular dalam Perspektif Islam

21 Desember 2019   21:35 Diperbarui: 24 Desember 2019   10:30 1924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ular kobra. foto | Kompas.com

Dalam budaya Cina, ular adalah salah satu dari 12 hewan suci yang menjadi nama shio dan dimasukkan dalam kalender Cina. Dan, ular juga dijumpai dalam lambang kedokteran, yang mewakili makna farmasi dan obat secara umum.

Jadi, ular sudah lama dimanfaatkan manusia. Kini dimanfaatkan sebagai serum, sedangkan empedu, darah dan daging beberapa jenis ular, seperti kobra (naja spp) sudah sejak lama dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit oleh masyarakat di Asia Timur, terutama Cina.

Di India, ular dijumpai sebagai pertunjukan tarian dengan menggunakan tarian King Kobra (Ophiophagus hannah) yang sangat berbisa. Kulit beberapa jenis ular seperti sanca (phyton reticalatus), ular anacona (Eunectes murnus) dan jenis lainnya banyak digunakan sebagai bahan tas, sepatu dan aksesori lainnya.

Citra yang kurang baik terhadap ular akibat dari dongeng, mitos dan semacamnya ditambah dengan rusaknya habitat ular dan nilai ekonominya yang cukup tinggi, menyebabkan penurunan drastis pupulasi ular di alam.

Dengan paparan di atas, boleh jadi manusia menyukai atau membenci ular. Tetapi, apa pun pilihannya, manusia sudah seharusnya menghargai keberadaan ular. Ular memilih untuk tidak mengabdi kepada manusia. Ular hanya ingin dibiarkan begitu saja dan diperbolehkan apa yang diperlukan dalam usahanya mengabdi kepada Allah.

Memang, hewan janganlah diukur dengan ukuran manusia. Mereka bukan saudara kita, bukan pula bawahan kita. Mereka adalah bangsa tersendiri, yang terperangkap dalam kebersamaan dengan kita dalam jaringan kehidupan dan waktu. Mereka adalah teman sependeritaan manusia di dunia yang gemerlapan dan rapuh. (Henry Beston, seorang naturalis).

Sumber bacaan satu dan dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun