Jangan pasimis terhadap dunia tulis menulis meski surat kabar kini banyak 'gulung tikar' lantaran terdesak kemajuan penggunaan gawai (gadget).
Bagi yang gemar menulis di media sosial atau menjadi bloger (blogger), Â jangan pula berputus asa hanya karena income atau pendapatan yang diterima tidak menggembirakan lagi.
Demikian benang merah yang penulis tangkap dari pelajaran menulis yang menghadirkan para Kompasianer di Graha Wisata TMII Jakarta, Jumat (2-3/8/2019). Hadir pada kesempatan itu sekitar 35 penulis Kompasiana. Tampil sebagai narasumber Iskandar Zulkarnaen atau Kang Ijet, co-finder Kompasiana dan Jason Khaerul, Direktur Program Persatuan Penulis Indonesia, dan penulis novel Fanny Jonathan Poyk.
Penulis merasa bersyulkur kepada Yon Bayu, Thamrin Sonata dan Muthiah Alhasany yang mengornisir pertemuan para kompasianer sehingga berlangsung tertib hingga jalan-jalan ke Pulau Maju.
Manusia di era kekinian telah beralih dari penggunaan membaca rangkaian huruf, kata dan kalimat di atas kertas ke permukaan layar gawai. Realitas ini tidak bisa lagi dinafikan. Hal itu juga sebagai dampak dari kemajuan literasi yang dilakoni manusia. Karena itu, dunia tulis menulis tetap memiliki prospek dengan segala tantangan ke depannya.
Seorang pedagang suratkabar mengeluh bahwa pembelian dagangan ecerannya semakin berkurang. Para pengelola media massa kini tengah menyiasati agar terhindar dari kebangkrutan, lantaran income dari iklan yang diterima berkurang. Ujungnya, mereka harus ikut perubahan dan menyesuaikan kebutuhan konsumen. Maka, hadirlah suratkabar dalam bentuk digital.
Kehidupan suratkabar dari zaman ke zaman selalu menyesuaikan dengan perkembangan peradaban manusia. Kala penyampaian informasi menggunakan morse, pengelola suratkabar memanfaatkan ahli morse sebagai tenaga kerjanya. Ketika mesin telek ditemukan dan penggunaan faximile berkembang, banyak kantor berita dan suratkabar memanfaatkannya. Termasuk perkembangan cetak jarak jauh digunakan.
Kini, perkembangan dan tantangan para pengelola media massa, termasuk media elektronik seperti televisi dan radio, ikut menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Meski mahal, hal itu adalah suatu realitas yang tidak bisa dihindari.
Lantas, bagaimana dengan nasip para penulis. Penulis yang dimaksud di sini adalah para aktivis yang rajin menulis di blognya, membuat video, menulis untuk suratkabar, menjadi penulis sastra seperti fiksi dan puisi?
**
Aktivitas menulis sekarang tidak melulu bergantung kepada media massa. Usai menulis, si penulis kemudian mendapatkan honor. Penulis blog atau vlog juga tak menggantungkan karyanya harus dimuat di media massa. Kini, media massa pun tak melulu menggantungkan sumber informasinya dari para jurnalisnya yang direkrut di berbagai kota.
Sumber informasi bagi media massa bisa datang dari para relawan yang melaporkan peristiwa penting. Laporan relawan tak lagi bergantung sistimatika jurnalistik yang apik, seperti banyak dipelajari di fakultas komunikasi. Terpenting, konten atau isi, daya muat, kandungan dari informasi bersangkutan aktual, penting dan sangat dinantikan publik.
Penulis hendaklah mengindahkan etika dalam menulis. Tak kalah penting, penggunaan kata, susunan kata yang membentuk kalimat harus pula memperhatikan pemakaian tanda baca yang tepat.
Pemilihan kata dan tanda baca dalam bertutur pada sebuah artikel haruslah benar. Kapan kata disambung dan dipisah, kapan kata ubah dan rubah digunakan, si penulis harus paham. Sebab, bahasa adalah alat komunikasi dan menuntut pembaca dari berbagai strata atau lapisan masyarakat mengerti.
Dalam praktek, hal semua itu menjadi tanggung jawab redaktur. Bila hal itu tidak diindahkan, bisa jadi hukum alam akan membawa media bersangkutan kalah bersaing.
**
Nasib penulis tidak ditentukan dari penghargaan yang didapat dari para pengelola media, tetapi sejauh menulis itu didikasikan untuk mendorong kemajuan peradaban manusia, maka dunia tulis menulis tidak pernah berakhir.
"Saya menulis ketika tidak punya uang. Di situ, ketika dalam keadaan tidak berdaya, tulisan mengalir bagai air terjun," ungkap Fanny Jonathan Poyk dalam wawancara terpisah dengan penulis.
Tetapi itu tidak selalu berlaku di setiap saat. Kadang saat momen yang tepat, tulisan juga muncul demikian cepat.
Sejatinya, siapa pun dia, bisa menjadi penulis. Dengan catatan, yang bersangkutan mau belajar. Sering membaca artikel yang menjadi minatnya. Jika Anda ingin menjadi penulis ekonomi tetapi tak cukup pengetahuan di bidang itu, lantaran tak pernah duduk di kuliah fakultas ekonomi, misalnya, bisa banyak membaca artikel tentang ekonomi.
Dukungan tentang literatur tentang materi bacaan sangat mudah didapat dari media sosial. Para pakar banyak menulis di blognya masing-masing. Bacalah telisan mereka. Baca!
Apakah ekonomi mikro, atau makro. Pokoknya dibaca tanpa memasang target. Sewaktu-waktu ketika Anda terlibat dalam sebuah diskusi, secara tidak sadar, pengetahuan yang didapat dari membaca artikel tadi akan berhamburan keluar. Bisa jadi, pemahaman Anda jauh lebih baik dari narasumber.
"Saya tak pernah duduk di bangku kuliah fakultas ekonomi.Tapi, tulisan saya mendapat perhatian publik demikian besar," ungkap Jason Khaerul.
Siapa pun bisa menjadi penulis: sastra, penulis politik, ekonomi hingga kriminal sekalipun. Menjadi penulis tidak harus menggantungkan ketika seseorang sedang banyak uang atau  tengah mengalami kemiskinan. Dunia tulis menulis tetap carah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H