Wajar, bila Prabowo Subianto melakukan kesalahan. Wajar, jika ia salah menempatkan kata "wajah atau tampang Boyolali". Sungguh, wajar, ucapan capres nomor urut 02 itu kemudian menjadi kuat aroma politiknya. Juga menjadi wajar karena memang pidato itu disampaikan dalam konteks kepentingan politik.
Dalam prespektif agama, tidak ada yang salah. Sebab, apa yang dilakukan Prabowo wajar-wajar. Tapi, bila ditarik ke ranah politik bisa jadi ada yang menyebut sebagai tindakan kurang ajar.
Namanya juga politik, tidak ada harga mati. Tidak ada sebutan Merdeka atau Mati seperti sering diteriakan pada zaman old. Coba perhatikan dan baca lembaran perpolitikan kita pada tahun politik 2018.
Tercatat, paling tidak, ada pernyataan hari ini disebut sepakat berkoalisi, tetapi elite politik partai sebelah main dua kaki. Disebut sepakat wakil dari partai si anu menjadi cawapresnya, eh esok berubah kala kardus datang. Muncul berita, dengan alasan, politik itu dinamis. Tegasnya, kala itu, koalisi 02 lebih ramai di internal ketimbang berita suasana sejuknya.
Nah, lepas dari hal itu, dalam prespektif agama, seperti disebut di atas, ucapan seseorang karena selip lidah misalnya, akan menjadi wajar. Bahkan, ketika hal itu dilakukan sengaja atau tidak sengaja, maka pelakunya dianggap wajar. Alasannya sederhana, karena Prabowo Subianto juga manusia.
Jangan pandang Prabowo keturunan dari mana. Jangan lihat dia asal-usul agamanya, jangan lihat jasa orangtuanya demikian 'gede' bagi negeri ini. Jangan tanya pula dari rahim siapa Prabowo Subianto dilahirkan. Yang ingin saya sampaikan, Prabowo Subianto juga manusia. Sama seperti penulis dan pembaca Kompasiana.
Coba perhatikan lirik lagu ini yang disampaikan penyanyi anak muda, Candi. Berikut potongan lirik lagunya yang sempat populer beberapa tahun silam.Â
Kadang kurasa lelah harus tampil sempurna
Ingin ku teriakkan...
Rocker juga manusia punya rasa punya hati
Jangan samakan dengan pisau belati
Rocker juga manusia punya rasa punya hati
Jangan samakan dengan pisau belati
Sejatinya, wajar jika setiap manusia ingin tampil sempurna. Apa lagi politisi sekelas Prabowo Subianto yang masih punya niat kuat untuk menjadi orang nomor satu di negeri tercinta ini. Karenanya, ketika ia mencari simpati dan dukungan, tanpa sadar telah melakukan kesalahan.
Penulis tak tahu apakah Prabowo sendiri merasa bersalah atau tidak. Itu tidak terlalu penting. Lagi pula bukan urusan penulis. Tapi, yang jelas, bahwa setiap manusia itu pasti (pernah) melakukan kesalahan di mata Tuhan. Sekalipun kesalahan atau perbuatan berdosa itu dilakukan secara tersembunyi. Kalaupun kemudian hari terungkap dan dibantah, itu berarti ia telah mendustakan dirinya sendiri.
Berbohong pada diri sendiri akan terbawa sampai mati jauh lebih berbahaya.
Karena itu, sungguh tepat jika disebut manusia adalah tempatnya dosa dan kesalahan. Tetapi jangan khawatir, karena setinggi dan sebesar apa pun dosa yang pernah dilakukan, jika pelakunya mau bertaubat dan mohon ampunan Allah, maka ampunan Allah akan memberi ampunan kepadanya.
Namun harus ingat, Â jangan remehkan dosa walaupun itu kecil-kecilan. Sebab, kesalahan atau perbuatan dosa yang kecil jika dilakukan berulang kali akan menjadi dosa besar.
Dalam prespektif Islam, ada beberapa hal dalam kehidupan politik patut diindahkan. Misalnya, aspek musyawarah harus dikedepankan. Bukan ditempatkan di belakang, bermain mata, dan mementingkan segolongan daripada kelompok yang sudah dibangun dan dibentuk.
Aspek adil juga tidak kalah penting. Adil dimaksudkan harus berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuan ganda. Dan inilah yang menjadikan seorang yang adil, tidak berpihak kepada yang salah. Hindari menelikung, tipu muslihat seperti yang dipertontonkan selama ini.
Boleh lihat, tontonan elite politik main gertak, mengancam out dari koalisi adalah sebuah bentuk pembangunan komitmen di atas kayu rapuh.
Nah, adalah lagi tak kalah pentingnya etika politik dalam Islam adalah prihal persamaan kemanusiaan. Alasannya, esensinya manusia adalah sama, bersaudara karena mereka berasal dari sumber yang sama pula.
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangs dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti (al-Hujarat/49:13)
Maka, dari ayat itu makin jelas bahwa misi Alquran dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, termasuk dalam prihal politik, adalah untuk menegakkan prinsip persamaan (egalitarianisme) dan mengikis bentuk fanatisme golongan maupun kelompok.
Melihat penjelasan ayat itu, maka makin jelas, tidak ada alasan membenci Prabowo Subianto. Apakah ia salah atau tidak salah, semua itu harus diyakini bahwa di sana masih ada pintu maaf Allah yang lebih besar.
Sampai saat ini komitmen Pak Prabowo dengan Partai Gerindranya masih kuat untuk menjadi orang nomor satu di Tanah Air. Kita patut memberi apresiasi kepadanya. Sebab, bila komitmen itu dikesampingkannya, lalu lawan Pak Jokowi pada Pilpres 2019 siapa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H