Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kalau Saja "Qishas" Diberlakukan di Indonesia

1 November 2018   05:06 Diperbarui: 1 November 2018   08:32 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, hukuman qishas. Foto | SHUTTERSTOCK

Jika saja kalimat judul di atas benar-benar diterapkan, Kementerian Hukum dan HAM tidak terlalu repot. Pertama, tidak diberatkan lagi dan memikirkan bagaimana caranya membangun sejumlah penjara baru di berbagai kota. Pasalnya, karena kapasitas penjara yang ada sekarang sudah melampaui batas kewajaran.

Kedua, hukumannya sudah jelas. Membunuh hukumannya dibunuh dengan cara qishas. Darah dibayar darah sejauh tidak ada pemaafan dari anggota keluarga korban. Beres, kan?

Begal, perampok disertai pembunuhan dan pembunuh bayaran sudah pasti ganjarannya. Qishas akan diterima tanpa kompromi. Jangan bicara hak asasi manusia (HAM) ketika membahas qishas. Mengapa? Ya, nggak ngambung.

Hukuman ini di negeri petro dolar, Arab Saudi, sudah berurat-akar hadir di negeri itu. Pangeran, putra mahkota, gubernur hingga raja sekalipun tak bisa mengintervensi hukuman ini. Keputusan pengadilan, jika memang terbukti melakukan pembunuhan - dengan cara dan alasan apa pun - pasti kena hukuman qishas.

Jika raja saja tidak bisa mengubah hukuman ini lantaran kuasa ada pada anggota keluarga korban. Kuasa ada pada rakyatnya. Lantas, bagaimana dengan kita, di Indonesia, yang anggota keluarganya dinyatakan bersalah, dijatuhi qishas.

Seperti yang sudah-sudah, berbagai pihak mempertanyakan, dimana HAM yang seharusnya dijunjung? Kala ada TKW dijatuhi qishas, paling sering mencuat ke permukaan kalimat tersebut. Lantas, menyusul pertanyakan, peran pemerintah dimana? Senyatanya, toh, negeri Paman Sam, pengusung HAM saja tak bisa berbuat banyak atas hukuman qishas.

Bentuk hukuman ini, bila benar-benar ditiru para penegak hukum di negeri kita, bisa dipastikan dapat menimbulkan kekacauan hukum. Bagaimana mungkin ada pengadilan, tetapi keputusan akhir sangat tergantung kepada anggota keluarga korban.

Bila anak anggota korban tadi masih belum akil balig, ia ditunggu sampai waktunya dewasa yang selanjutnya diminta pemaafan terhadap si pelaku. Bila kata akhir dari anak dewasa menyatakan tidak memberi maaf, maka pihak pengadilan tinggal mengeksekusi. Si pelaku tinggal dipenggal.

Nah, kapan waktunya eksekusi itu dilakukan. Ya, tergantung maunya pihak pengadilan. Bisa dilakukan setelah ada penyataan dari anggota keluarga, esok atau beberapa bulan ke depan. Nah, soal waktu pelaksanaan esekusi itu kadang dipermasalahkan oleh anggota keluarga pelaku. Sebut saja pelakunya itu tenaga kerja wanita Indonesia yang baru-baru ini dieksekusi di Thaif, Tuti Tursilawati.

Kok, tidak pernah diberi tahu pelaksanaan eksekusi itu. Pemerintah juga, kadang dituding tidak pro aktif. Jika sudah demikian, ramai-ramai meneriakan Arab Saudi tidak proporsional dalam menegakan hukum. Tidak mendengarkan suara anggota keluarga pelaku, hanya sepihak.

**

Realitasnya, hukuman di Kerajaan Saudi Arabia adalah yang dibunuh harus dibunuh pula. Ini untuk kasus pidana. Di Arab Saudi tidak dikenal pelaku pembunuhan dapat terbebas dari hukuman dibunuh. Jadi, membunuh hukumannya ya dibunuh. Ini prinsip. Grasi juga tidak dikenal.

Hanya saja ada satu jalan yang diberikan dalam syariah, yaitu pintu pemaafan. Dalam hal ini keluarga korban yang memiliki otoritas atau kewenangan. Salah satu contoh Zaenab yang sudah dieksekusi lantaran membunuh istri majikannya.

Dan seluruh anggota keluarga tidak memberikan maaf kepada Zaenab. Saat itu, salah seorang anggota keluarga masih kecil, sekitar 3,5 tahun. Dia belum akil balig. Lantas pihak otoritas setempat menunggu sampai dewasa untuk dimintai pendapatnya tentang pemaafan kepada Zaenab.

Ternyata, setelah dewasa, yang bersangkutan setelah ditanyai tentang pemaafan tadi, tidak setuju. Menolak memberi maaf. Karena itulah Zaenab langsung dieksekusi. Andai saja anak itu setelah dewasa atau akil balig menyetujui untuk memberi maaf, maka bisa menggugurkan penolakan keluarga seluruhnya sehingga Zaenab dapat terbebas atau selamat dari eksekusi.

Soal qishas ini masih banyak belum dipahami warga Indonesia. Terutama soal pemaafan itu. Ada dua macam pemaafan. Pertama, tanpa syarat. Artinya, kalau keluarga korban memberi maaf, maka bebaslah dari pelaksanaan eksekusi. Sekalipun pedang sudah di atas leher, jika keluarga memaafkan saat itu eksekusi dapat dibatalkan.

Kedua, pemaafan dengan syarat. Dengan membayar sejumlah uang yang disebut diat.

Terkait dengan pemberitahuan kepada orang yang hendak dieksekusi, biasanya dilakukan pada malam harinya menjelang eksekusi. Pelaku diberi tahu malam harinya. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan mungkin ada pesan-pesan wasiat. Bisa jadi, hal inilah yang menyebabkan tak sempat orang mengumumkan pelaksanaan eksekusi.

Sangat disarankan, manfaatkan pintu pemaafan. Untuk ini harus ada tim lobi. Dari pihak kedutaan besar harus aktif. Pengalaman Muhammad Maftuh Basyuni kala menjabat sebagai Ketua Satgas TKI adalah mencari orang yang punya pengaruh kepada anggota keluarga korban. Misalnya mantan pejabat setempat. Orang yang sudah tua dan punya wibawa, yang biasanya kerap kumpul di masjid.

Karena hukuman qishas tak bisa ditawar, maka penting ditekankan kala menjumpai orang berpengaruh di sana adalah menegaskan bahwa "Saya datang kemari bukan menyalahkan putusan hakim, tapi ingin memanfaatkan celah yang diberikan oleh hukum, yaitu pemaafan. Dengan cara itu pihak yang diajak bicara akan respek. Dia merasa ikut membantu. Membantu berarti mendapatkan pahala."

Tapi, untuk urusan seperti ini, siapa yang punya kemampuan. Kala Maftuh masih bertugas, ia disebut-sebut tak bisa melobi karena penguasaan Bahasa Arab minim. Maftuh pun marah. Sebab, ia sudah banyak makan garam kuliah di Madinah dan menjadi Dubes Arab Saudi disamping sederet pengalaman lainnya. Terakhir Maftuh menjabat sebagai menteri agama di era Presiden RI Susilo Bambang Yodhoyono.

Prestasi (almarhum) Maftuh dalam membebaskan TKI yang menghadapi hukuman pancung patut diacungi jempol. Sebelum ia mengakhiri tugasnya, tercatat 43 orang terancam hukuman mati. Sebanyak 24 orang terancam divonis mati dan 19 orang masih dalam penyelidikan.

Dari 24 orang yang divonis mati, enam orang sudah memperoleh pemaafan, lima orang lagi hukumannya ditinjau lagi, enam orang lagi menunggu pemaafan dari raja karena kasus sihir. Sisanya dalam posisi kritis. Mereka adalah Tuti Tursilawati, Satinah, Zaenab, Aminah dan Darmawati. 

Dua orang lagi masih menunggu hukuman. Siapa kedua orang yang menunggu hukuman tersebut, sayangnya tidak disebutkan namanya. Ia mengakui posisi Tuti, yang dituduhkan sebagai pembunuh dan mencuri harta benda majikannya, sudah diakui oleh yang bersangkutan. Putusan pelaksanaan hukumannya saat itu memang sudah di ujung tanduk.

Nah, kini kembali ke pertanyaan kepada judul di atas, "Kalau Saja Qishas Diberlakukan di Indonesia", siapa yang paling setuju?

Sungguh, sejak dulu The Founding Fathers sudah memikirkan dan menetapkan landasan ideologi yang tepat. Pancasila senyatanya bisa diterima oleh seluruh rakyat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun