Realitasnya, hukuman di Kerajaan Saudi Arabia adalah yang dibunuh harus dibunuh pula. Ini untuk kasus pidana. Di Arab Saudi tidak dikenal pelaku pembunuhan dapat terbebas dari hukuman dibunuh. Jadi, membunuh hukumannya ya dibunuh. Ini prinsip. Grasi juga tidak dikenal.
Hanya saja ada satu jalan yang diberikan dalam syariah, yaitu pintu pemaafan. Dalam hal ini keluarga korban yang memiliki otoritas atau kewenangan. Salah satu contoh Zaenab yang sudah dieksekusi lantaran membunuh istri majikannya.
Dan seluruh anggota keluarga tidak memberikan maaf kepada Zaenab. Saat itu, salah seorang anggota keluarga masih kecil, sekitar 3,5 tahun. Dia belum akil balig. Lantas pihak otoritas setempat menunggu sampai dewasa untuk dimintai pendapatnya tentang pemaafan kepada Zaenab.
Ternyata, setelah dewasa, yang bersangkutan setelah ditanyai tentang pemaafan tadi, tidak setuju. Menolak memberi maaf. Karena itulah Zaenab langsung dieksekusi. Andai saja anak itu setelah dewasa atau akil balig menyetujui untuk memberi maaf, maka bisa menggugurkan penolakan keluarga seluruhnya sehingga Zaenab dapat terbebas atau selamat dari eksekusi.
Soal qishas ini masih banyak belum dipahami warga Indonesia. Terutama soal pemaafan itu. Ada dua macam pemaafan. Pertama, tanpa syarat. Artinya, kalau keluarga korban memberi maaf, maka bebaslah dari pelaksanaan eksekusi. Sekalipun pedang sudah di atas leher, jika keluarga memaafkan saat itu eksekusi dapat dibatalkan.
Kedua, pemaafan dengan syarat. Dengan membayar sejumlah uang yang disebut diat.
Terkait dengan pemberitahuan kepada orang yang hendak dieksekusi, biasanya dilakukan pada malam harinya menjelang eksekusi. Pelaku diberi tahu malam harinya. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan mungkin ada pesan-pesan wasiat. Bisa jadi, hal inilah yang menyebabkan tak sempat orang mengumumkan pelaksanaan eksekusi.
Sangat disarankan, manfaatkan pintu pemaafan. Untuk ini harus ada tim lobi. Dari pihak kedutaan besar harus aktif. Pengalaman Muhammad Maftuh Basyuni kala menjabat sebagai Ketua Satgas TKI adalah mencari orang yang punya pengaruh kepada anggota keluarga korban. Misalnya mantan pejabat setempat. Orang yang sudah tua dan punya wibawa, yang biasanya kerap kumpul di masjid.
Karena hukuman qishas tak bisa ditawar, maka penting ditekankan kala menjumpai orang berpengaruh di sana adalah menegaskan bahwa "Saya datang kemari bukan menyalahkan putusan hakim, tapi ingin memanfaatkan celah yang diberikan oleh hukum, yaitu pemaafan. Dengan cara itu pihak yang diajak bicara akan respek. Dia merasa ikut membantu. Membantu berarti mendapatkan pahala."
Tapi, untuk urusan seperti ini, siapa yang punya kemampuan. Kala Maftuh masih bertugas, ia disebut-sebut tak bisa melobi karena penguasaan Bahasa Arab minim. Maftuh pun marah. Sebab, ia sudah banyak makan garam kuliah di Madinah dan menjadi Dubes Arab Saudi disamping sederet pengalaman lainnya. Terakhir Maftuh menjabat sebagai menteri agama di era Presiden RI Susilo Bambang Yodhoyono.
Prestasi (almarhum) Maftuh dalam membebaskan TKI yang menghadapi hukuman pancung patut diacungi jempol. Sebelum ia mengakhiri tugasnya, tercatat 43 orang terancam hukuman mati. Sebanyak 24 orang terancam divonis mati dan 19 orang masih dalam penyelidikan.