Bagi orang belum melek media, tidak jarang tertipu. Jumlah media online macam itu banyak. Puluhan ribu. Mereka itu hadir ilegal dan masyarakat kerap mendatangi Dewan Pers mengadukan oknum wartwan dari media tersebut.
Baca juga: Kala Politik Memanas, Pers Perkuat Marwahnya dan  Jurnalis Masih Pantas Menoleh Kisah Usang Ini
**
Selain mendirikan media online seenaknya, Dewan Pers prihatin masih ada di kalangan awak media terlalu percaya dengan informasi media sosial. Kita pun tahu bahwa Jurnalis itu harus mengedepankan asas chek and rechek. Cover both side.
Karena itu jurnalis harus melakukan verifikasi dan klarifikasi kepada sumber berita sebelum menyebarluaskan berita. Jika informasi masih mentah, sangat mungkin berita kemudian jadi hoax. Berita bohong dapat menyesatkan dan berpotensi jadi fitah.
Dewan Pers  juga terus menerus membenahi dan menertibkan media ilegal dengan bekerja sama dengan pihak kepolisian, Kominfo dan instansi terkait. Personil dari instansi tersebut bekerja dalam satu tim, sehingga begitu mendapat laporan warga secepatnya diselesaikan. Kita berharap tim tersebut dapat bekerja maksimal. Tim yang akan dibentuk ke depan tersebut  mirip sistem pelayanan satu atap.  Mantap, tanggap dan cepat menyelesaikan persoalan.
**
Pada acara bedah buku tersebut, Siti Zuhro mengingatkan, para begawan jurnalis punya tanggung  jawab untuk menjaga kepercayaan kepada masyarakat. Demokrasi yang kini berkembang pada tataran pelaksanaannya berjalan tidak konsisten.
Dan, dalam situasi demikian, maka campur tangan pers sangat diperlukan. Bisa disaksikan, sering kali terdengar bahwa NKRI adalah harga mati. Tapi, untuk pengamalannya masih terasa setengah hati. Nah, soal seperti ini, pers punya tanggung jawab dengan memberi pencerahan.
Pada buku Pers Ideal Untuk Masa Demokrasi, setebal 384 halaman, diungkap beragam peristiwa yang menyangkut Etika Pers, Hukum, dan Dewan Pers. Kebebasan Pers bagi Kebebasan Masyarakat, Peringatan dini bagi Konflik dan Korupsi, Mendengarkan Suara dari Papua dengan sejumlah referensinya.