Nah, peluru yang menembus dinding tembok rumah terlihat mantul bolak-balik ke berbagai arah tak beraturan. Itu peluru yang melesat dari moncong senjata laras panjang di atas sebuah tank. Ngeri menyaksikan korbannya.
Untuk urusan ini, Pangdam Tanjung Pura Sang Nyoman Suwisma dan petinggi Polri dari Jakarta turun ke lapangan untuk mendamaikan.
Syukurlah, kini mereka baik-baik saja.
Yang penting diketahui dari peristiwa itu, daya rusak peluru tak berotak sangat luar biasa. Ya, sampai merenggut nyawa manusia tak berdosa.
**
Mengapa peluru itu disebut tidak berotak. Alasan paling kuat, karena memang ia bukan mahluk. Tapi otaknya ada pada siapa senjata berisi peluru itu dipegang.
Dulu, di Jakarta, anak-anak dari asrama polisi dan tentara sering membawa senjata untuk gagah-gagahan. Penulis juga pernah ikut-ikutan semasa sekolah. Ada perasaan bangga, sehingga punya citacita jadi tentara. Harapan jadi tentara tak tercapai meski sudah bawa surat rekomendasi, tapi karena sudah berkaca mata, ya ditolak.
Ketika ikut latihan militer di Pusat Laihan Prajurit Kostrad Sanggabuana Karawang, Jawa Barat, penulis dilatih secara pisik demikian berat. Yang menggembiran pada latihan itu adalah tumbuhnya rasa bangga sebagai warga negara Indonesia. Pendek kata, jiwa nasionalisme mekar.
Penting diingat, selama latihan menembak, seluruh peserta diawasi, dibimbing dan diberi penjelasan secara detail. Peluru itu tajam dan kenali senjata yang di tangan. Senjata di tangan harus diperlakukan seperti isteri. Hilang, diri anda melayang. Paling tidak terkena hukuman dari komandan.