Belum menjadi anggota Perbakin dan belajar menggunakan senjata, sudah bikin geger. Gedung dewan yang terhormat, di kawasan Senayan Jakarta, ruang kerjanya ditembus peluru nyasar. Ini gara-gara pengguna senjata di cabang olah raga menembak itu tidak profesional.
Penulis yakin, bila para petembak yang berlatih di lapangan Tembak Senayan profesional, maka medali emas pada Asian Games di Jakarta baru-baru ini akan diborongnya.
Kalau saja organisasi Perbakin punya aturan, dan pengawasan profesional tentu kelalaian memberikan senjata api kepada aparatur negeri sipil dari lingkungan Kementerian Perhubungan tidak terjadi.
Kelalaian memberi senjata kepada orang yang tak memiliki atau seizin dan pengawasan dari otoritas yang berwenang, untuk cabang olahraga ini, adalah bentuk pelanggaran hukum yang tidak dapat ditolerir.
Alasannya yang paling kuat adalah karena peluru tidak berotak. Peluru dengan kaliber ukuran seberapa pun memiliki daya rusak luar biasa. Bisa jadi bagi yang terkena sasaran akan berakibat pada kematian. Ini, anak sekolah dasar pun tahu itu. Begitu peluru melesat dari moncong senjata, apakah mengarah pada sasaran yangditentukan atau tak sengaja pada sasaran lain, akan membawa konsekuensi tersendiri.
Kita bersyukur, tak ada korban pada peristiwa peluru nyasar di Gedung DPR/MPR Jakarta tempo hari lalu.
Kedua senjata api ini disita dari dua tersangka yang berasal dari Tangerang Selatan dan Jakarta Timur.
Dipastikan,  kedua tersangka bukan merupakan anggota Perbakin. Mereka  Aparatur Sipil Negara Kemenhub. Polisi masih menyelidiki bagaimana kedua tersangka mendapat senjata dan masuk Lapangan Tembak Senayan.
Kedua tersangka kaget karena pistol yang digunakan telah dimodifikasi sehingga bisa menembakan empat peluru langsung.
**
Nah, peluru yang menembus dinding tembok rumah terlihat mantul bolak-balik ke berbagai arah tak beraturan. Itu peluru yang melesat dari moncong senjata laras panjang di atas sebuah tank. Ngeri menyaksikan korbannya.
Untuk urusan ini, Pangdam Tanjung Pura Sang Nyoman Suwisma dan petinggi Polri dari Jakarta turun ke lapangan untuk mendamaikan.
Syukurlah, kini mereka baik-baik saja.
Yang penting diketahui dari peristiwa itu, daya rusak peluru tak berotak sangat luar biasa. Ya, sampai merenggut nyawa manusia tak berdosa.
**
Mengapa peluru itu disebut tidak berotak. Alasan paling kuat, karena memang ia bukan mahluk. Tapi otaknya ada pada siapa senjata berisi peluru itu dipegang.
Dulu, di Jakarta, anak-anak dari asrama polisi dan tentara sering membawa senjata untuk gagah-gagahan. Penulis juga pernah ikut-ikutan semasa sekolah. Ada perasaan bangga, sehingga punya citacita jadi tentara. Harapan jadi tentara tak tercapai meski sudah bawa surat rekomendasi, tapi karena sudah berkaca mata, ya ditolak.
Ketika ikut latihan militer di Pusat Laihan Prajurit Kostrad Sanggabuana Karawang, Jawa Barat, penulis dilatih secara pisik demikian berat. Yang menggembiran pada latihan itu adalah tumbuhnya rasa bangga sebagai warga negara Indonesia. Pendek kata, jiwa nasionalisme mekar.
Penting diingat, selama latihan menembak, seluruh peserta diawasi, dibimbing dan diberi penjelasan secara detail. Peluru itu tajam dan kenali senjata yang di tangan. Senjata di tangan harus diperlakukan seperti isteri. Hilang, diri anda melayang. Paling tidak terkena hukuman dari komandan.
Selama ikut pelatihan di Sanggabuana itu, peserta harus kenal suara letusan dari beragam jenis senjata. Tak heran, bangun tidur saja diawali dengan sarapan pagi suara letusan bom. Kocar kacir kita mencari sepatu.
Karena salah pakai, ya jelaslah kena hukuman disiplin. Jadi, peluru itu tajam, tidak berotak. Karena itu, bagi yang memegangnya, siapa pun dia, harus mengerti cara memperlakukannya. Paham aturannya, harus punya disiplin. Lebih bagus lagi, orang bersangkutan harus lulus tes kejiwaan.
Peluru memeng tak berotak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H