"Abang mampu nggak, ajak umi melihat kereta api hitam?"
Kalau istrinya sudah bertanya seperti itu, Al Somad tak bisa menjawab iya atau tidak. Dan, karena tidak memperoleh jawaban, Salmah hanya bisa menangis di dalam kamar. Sementara Al Somad tidak berani mendekat. Nyalinya kecil. Seperti ayam jago keok menghadapi puluhan ayam betina yang mengelilingi. Diam seribu bahasa.
**
Jumat pagi setiba di kantor, Al Somad melamun di ruang kerjanya. Ia uring-uringan. Serba salah, apa yang hendak dikerjakan. Memindahkan map berisi berkas saja salah tempat.
Akhirnya ia berdiam diri. Duduk di atas kursi kerja bagai patung tengah menanti uang saweran. Rekan-rekan kerjanya yang melintas pun tak ditegur. Bahkan, ketika tutup gelas jatuh ke lantai Al Somad tak bereaksi. Ketika rekan-rekannya bicara, ia tak ambil bagian dalam obrolan itu.
"Pak, kok diam bagai patung," kata rekannya yang duduk di sebelah.
Al Somad hanya menoleh. Melempar senyum. Ia baru sadar, ini di kantor. Tempat kerja. Bukan untuk bermuram durja. Lantas, dengan kesadaran penuh, ia berdiri menuju kamar kecil.
Setelah balik ke tempat duduknya, ia menoleh ke arah rekannya sambil berucap. Katanya: "Aku binging nih, istriku lagi ngidam."
"Alhamdulillah. Istri ngidam harusnya disambut gembira. Bukan bermurah durja seperti tadi itu. Gembiralah bang. Kerja keras seperti biasa. Semua itu kan untuk didedikasikan untuk si cabang bayi," kata Mahmud seperti Pak Ngah, tetangganya ketika memberi nasihat.
"Iya, ngidam. Ngidam pingin lihat kereta api hitam. Itu aja sih," Mahmud bengong mendengar penjelasan lanjutan Al Somad.
"Aneh, ya!" hanya itu kata yang keluar dari mulut Mahmud, rekan kerjanya yang setia menemani baik kala Al Somad merasa senang dan susah. Sekarang Al Somad merasa kesulitan, istrinya ngidam ingin lihat kereta api hitam.