Sejak itu, penulis sering membeli baju batik. Tentu pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan tugas sehari-hari. Tapi, kemudian, kok menjadi gemar dengan batik.Â
Kalau ada orang mengenakan batik, yang diperhatikan adalah motif dan potongan jahitannya. Lebih repot lagi, saat menyaksikan para penggede mengenakan batik terlihat keren, ada dorongan untuk mencari tahu. Dimana dijual batik itu. Pendek kata, suka "ngiler" melihat batik.
Beruntung penulis sering bepergian ke berbagai daerah. Meski tak lagi bertugas di istana, halangan untuk mendapatkan batik berkualitas mudah dijangkau.Â
Dari harga ekonomis hingga batik sutera, kala keinginan kuat datang untuk memilikinya, ya dibeli. Pikir penulis, daripada penasaran tak terbayar.Â
Penulis pun tahu bahwa batik dari Papua kebanyakan dibuat di beberapa pusat kerajinan batik di Pulau Jawa, lantaran motifnya bagus, ya dibeli.
Penulis pun kini merasa bersyukur, Indonesia nyatanya memiliki ragam batik beken. Ketika berlangsung KTT ke-6 APEC di Istana Bogor, Indonesia, pada 15-16 November 1994 para kepala negara yang hadir ikut mengenakan baju batik.
Keren deh saat itu. Pada KKT tersebut dihasilkan deklarasi yang memuat kesepakatan-kesepakatan umum para pemimpin APEC. Kesepakatan itu kemudian dikenal juga Bogor Goals, nama lain dari APEC Economic Leaders Declaration of Common Resolve. Â
Kita patut bangga batik Indonesia makin kesohor. Siapa pun kini mengakui bahwa warisan seni budaya yang luar bisa - tersebar dari Sabang sampai ujung Papua, Â Merauke - memiliki corak yang indah.Â
Batik juga ikut penopang ekonomi masyarakat. Dan, industri batik menjamur di berbagai daerah dengan coraknya masing-masing. Disusul lagi hadirnya penggiat batik yang kreatif.Â