Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Berobat Stroke di Koramil 2101 Sukaraja, Kok Bisa?

27 Juli 2018   08:12 Diperbarui: 27 Juli 2018   10:56 10732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ah, mustahil berobat terserang stroke ke Koramil? Itu bukan tempatnya. Ke rumah sakit tentu lebih tepat. Lagi pula nggak takut tuh dengan tentara? Lihat kantornya saja dari jauh sudah seram. Wara-wiri orang berbaju loreng bersenjata laras panjang keluar masuk. Kita orang sipil masuk ke wilayah itu, wah harus mikirlah. Baru masuk pintu gerbang, kendaraan harus buka kaca pintu, buka kaca mata gaya dan hitam. Ditanyai mau jumpai siapa dan seterusnya. Ribet sudah pasti didapat.

Kesan itu yang ada di benak penulis ketika diajak berobat ke Koramil 2101 Sukaraja, daerah kawasan Kabupaten Bogor. Tepatnya di Jalan Dharmais setelah menyusuri Jalan Raya Bogor-Jakarta. Setelah perjalanan 30 menit dari kediaman, Jalan Ceger TMII, akhirnya penulis menjumpai kantor Koramil dimaksud.

Warga antre di kantor Korem 2101 untuk diurut. Foto | Dokpri
Warga antre di kantor Korem 2101 untuk diurut. Foto | Dokpri
Seusai dinas, mereka membantu rekannya membantu warga. Foto | Dokpri
Seusai dinas, mereka membantu rekannya membantu warga. Foto | Dokpri
Kedatangan kami bukan untuk berobat stroke, tetapi minta dipijat karena kaki kanan isteri tercinta terkilir. Dengkulnya terasa sakit, sehingga ketika shalat sehari-hari harus duduk di kursi. Belum lama sih, baru sekitar dua pekan rasa sakit itu dirasakannya.

Realitasnya, ketika sampai di Koramil 2101 Sukaraja bertolak belakang dengan penulis pikirkan. Tak ada pemeriksaan ketat ketika tamu berobat ke Koramil 2101 Sukaraja itu. Tak ada pungutan biaya parkir dan preman seperti di jumpai seperti di kawasan publik, pasar dan terminal.

Di sini, banyak pasien terkilir, salah urat, urat kejepit atau kecentit memenuhi ruang tunggu. Ada yang datang dengan kursi roda, bertongkat dan dituntun oleh pasangan setianya. Ada pula orang tua diantar cucu. Mereka semua antre dengan sabar untuk dilayani pemijit profesioanal Kapten Tatang dan anak buahnya.

Di sini, tak hanya orang sipil yang berobat dari kawasan Jakarta, Depok dan Bogor sekitarnya. Dari Bandung dan luar Jawa pun berobat untuk mendapat kesembuhan. Para perwira tentara dari Jakarta pun, termasuk jenderal atasan Kapten Tatang, berobat dan mendapat pertolongan di sini.

Suasana kantor Koramil, yang penulis saksikan pada Kamis (26/7/2018) memang berbeda dengan kantor tentara pada umumnya. Boleh disebut seperti rumah sakit saja lantaran sebentar-sebentar terdengar pasien berteriak merasa kesakitan ketika dipijit.

Wuih, sakit sekali! Kata seorang pasien yang baru dipijit.

Pasien yang tak mau disebut jati dirinya itu mengaku baru dua kali berobat. Ia mengaku menderita stroke ringan dan kini mengalami perubahan lebih baik, khususnya tangan dan siku.

Ia pun memperlihatkan tangannya yang sudah merasa sembuh. Anehnya, lanjut dia, usai dipijit dan kemudian tangannya menirukan memijit pasien penderita stroke lainnya, orang bersangkutan merasa sakit. Merasa kesetrum.

"Coba lihat ini, orang yang saya pijat merasa takut karena sakit," ujarnya.

Ketika disebut pasien merasa seperti kesentrum, penulis jadi terdorong untuk mencari tahu. Apa betul para pasien di sini distrum listrik?

Nyatanya, memang iya.

Seorang ibu tengah diterapi. Foto | Dokpri
Seorang ibu tengah diterapi. Foto | Dokpri
Stroke ringan dan berat, pokoknya dibantu. Foto | Dokpri
Stroke ringan dan berat, pokoknya dibantu. Foto | Dokpri
Pengakuan anak buah Kapten Tatang, Harto, energi listrik memang digunakan disini. Lantas, penulis pun menelusuri aliran listrik dari stop kontak yang dihubungkan ke kaki pemijit. Kabel di kaki pemijit dan pasien dihubungkan ke lempengan tembaga secara terpisah. Dua lempengan tembaga ini dibungkus kain Kanebo lembab (positif dan negatif).

Ketika memijit, pemijit memanfaatkan aliran listrik dengan cara menginjak. Kadang dilepas. Sementara aliran listrik ke pasien (melalui kabel warna merah) tetap diinjaknya. Jadi, aliran listrik baru mengalir kala sang pemijit menginjak lempengan. Aliran listrik mengalir melalui tubuh pemijit dan diarahkan ke bagian sakit pasien.

Hebat, kan?

Energi baik dari listrik ini sesungguhnya hanya sebagai instrumen pendukung pengobatan. Sejatinya, di telapak tangan manusia itu mengandung kekuatan yang sangat luar biasa. Jika dioptimalkan, akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang banyak. Tapi, tentu, cara praktek memijit itu tak bisa ditiru orang semabarangan. Mengapa?

Anak buah Kapten Tatang yang melakukan praktek memijit itu tidak hanya belajar mengantarkan ilmu aliran listrik ke pihak orang yang ditolongnya. Ia juga belajar ilmu secara khusus, termasuk anatomi manusia.

Mennti diterapi. Foto | Dokpri
Mennti diterapi. Foto | Dokpri
Kapten Tatang T tengah melatih pasien berjalan. Foto | Dokpri
Kapten Tatang T tengah melatih pasien berjalan. Foto | Dokpri
"Saya awalnya belajar ilmu laduni. Setelah itu, ilmu beladiri. Barulah beranjak kepada pengobatan yang saya turunkan kepada anak buah di sini. Mereka awalnya, ketika belajar, saya suruh berpuasa 21 hari," ungkap Kapten Tatang kepada penulis.

Praktek mijat di kantor Koramil 2101 Sukaraja ini menimbulkan pertanyaan bagi penulis. Apakah Kapten Tatang dapat izin dari atasannya?

Penulis sangat khawatir pengabdian Kapten Tatang di kantornya tidak mendapat restu pimpinanan. Semoga saja pendapat penulis ini salah.

Tapi dari sisi kesalehan sosial, penulis merasa banggsa. Kapten Tatang dan anak buahnya patut diberi apresiasi. Sebab, Kapten Tatang yang sudah membuka praktek di situ dua tahun silam dalam bekerja tidak mengganggu kedinasan. Selain itu, pasien berobat bisa membayar sesuka hati. Artinya, bayar seikhlasnya.

Pasien menginjak lempengen listrik. Foto | Dokpri
Pasien menginjak lempengen listrik. Foto | Dokpri
Usai melatih pasien berjalan, Kapten Tatang berdialog dengan keluarga pasien. Foto | Dokpri
Usai melatih pasien berjalan, Kapten Tatang berdialog dengan keluarga pasien. Foto | Dokpri
Lagi pula orang berobat ke Koramil 2101 Sukaraja itu tidak dibedakan status sosialnya. Apakah ia tentara, asal sukunya, agamanya, kedudukannya di masyarakat sebagai pengusahakah atau tokoh agama.

Kita memang butuh orang langka seperti ini. Ini adalah energi baik untuk kehidupan, tentara memiliki kekuatan untuk lebih dekat dengan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun