Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berantas "Kumpul Kebo" Jadi Prioritas Jika Aku Jadi Menag

24 Juli 2018   20:25 Diperbarui: 24 Juli 2018   21:03 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebo yang berkumpul ini tengah dipesiapkan untuk lomba. Bukan untuk 'kumpul kebo'. Foto | Dewie Suwiryo

Sejatinya paling mudah pekerjaan jadi menteri agama dibanding jadi menteri-menteri lain dalam Kabinet Kerja di bawah Presiden Joko Widodo (JK) dan Jusuf Kalla (JK) pada periode lima tahun lalu (2014 - 2019), karena untuk jabatan menteri ini - siapa pun orangnya - dalam bekerja tinggal tunjuk, menggeleng dan marah.

Namun saya heran pekerjaan mudah itu tidak bisa diselesaikan yang menjadi domain menteri yang mengurusi agama-agama di Indonesia. Sebut saja yang paling terlihat di ujung mata dan kerap menimbulkan soal di masyarakat adalah kumpul kebo. Coba saksikan kasus prostitusi di Hotel Alexis yang paling menonjol.

Sayogianya urusan kompul kebo' -hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan - atau samenleven di sejumlah hotel dan kawasan prostitusi itu sudah selesai di negeri ini jika sejak dulu pemangku agama bergerak dan bekerja. Artinya, tidak seperti sekarang yang melulu diserahkan kepada aparat kepolisian dan Pemda. Jika saja menteri agama bisa optimal memberdayakan para ustaz, ustazah, ulama, organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam, tentu hal itu tak tumbuh demikian besar.

Tulisan ini tidak bermaksud menyindir jajaran kementerian agama. Juga tak bermaksud merendahkan menteri agama yang terlihat bekerja lebih menonjol pada saat acara serimonial keagamaan, namun penulis ingin mengajak semua pihak merenungkan bahwa kebejatan prostitusi tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada polisi dan pemerintah daerah semata. Kalau saya pada posisi seperti menteri, penting menjadi motor atau penggerak bagi umat berada di barisan terdepan. Juga termasuk memerangi hoaks (hoax) seperti yang diarahkan admin Kemenag dan Kompasiana dengan para penulisnya.

Mengapa?

Kerusakan akhlak di negeri ini tak dapat lepas dari hal ini. Coba perhatikan, sesekali menteri agama dapat menyamar menjadi orang biasa dan pergi ke hotel eks, misalnya. Boleh jadi di situ ada transaksi seks. Di situ juga ada jual minuman keras, di situ juga ada judi, dan tak ketinggalan narkoba pun hadir.

Lebih parah lagi, kurban kekerasan seksual pada anak terjadi di sini. Kita tak perlu malu atau berupaya menutup mata adanya perdagangan wanita yang masih marak di negeri ini. Jadi ikutan dari dampak manusia hidup kumpul kebo dan diberi toleransi manjamur telah menjauhi umat dari Rahmat Allah. Soal rahmat itu, seorang menteri jauh lebih pandai. Apa lagi punya pembantu dirjen, kepala litbang dan seterusnya.

Kasus perceraian di tanah air juga tak lepas dari hadirnya kumpul kebo. Suami hidup serong, perempuan selingkuh lalu kumpul kebo dapat terjadi lantaran ketiadaan pembinaan akan pemahaman agama. Coba perhatikan, sekarang ini tidak ada lagi kursus pengantin bagi pemuda yang akan melangsungkan pernikahan. Anggaran bagi petugas BP4  untuk melestarikan pernikahan anggarannya dihapus.

Jadi, tidak heran seorang anak yang kini dipermudah untuk nikah, ke depan, tidak lagi punya landasan kuat untuk hidup berumah tangga. Pasalnya, mereka tak dibekali pemahaman agama untuk berumah tangga yang baik. Pondasinya rapuh. Keadaan diperparah mencuatnya hoaks dalam pemberitaan di media sosial, akibat lemahnya ajakan memerangi pemberitaan bohong itu. Apa lagi pada tahun Pilkada dan Politik, elite politik ikut memperkeruh iklim kedamaian yang sudah tercipta.

Itu kasus yang sering kita jumpai di dalam negeri. Bagaimana bagina WNI di luar negeri?

Wuih. Di sini lebih ngeri. Bisa jadi anak tidak tahu nasabnya. Tidak tahu asal usul orang tuanya karena di situ negara tidak hadir. Mengapa?

**

Kalau saya terpilih dan menjadi menteri agama, maaf tanpa bermaksud mendahului apakah Jokowi memimpin Kabinet Kerja Kedua, fokus memberantas prostitusi tetap jadi prioritas. Itu tidak bermaksud mengabaikan penanganan pemberitaan bohong untuk menciptakan citra partai.

Kalau saya menjadi menteri agama, ya tentu anggaran penguatan kehidupan rumah penting dipriritaskan. Anggaran BP4 harus ada. Kerja sama dengan pemangku agama-agama untuk berantas kumpul kebo jadi bagian penting. Memerangi kumpul kebo jangan dipandang sebelah mata. Untuk itu menjadikan polisi dan penegak hukum lainnya sebagai mitra kerja Kemenag tidak boleh sebatas di atas kertas. Apa lagi sekedar penghias bibir.

**

Kasus WNI yang bekerja di Timur Tengah dan kemudian kembali ke tanah air membawa bocah berambut keriting, hidung mancung ganteng ternyata banyak terjadi di negeri ini. Perempuan itu beruntung karena dari sisi fisik telah berhasil memperbaiki keturunan setelah menjadi tenaga kerja wanita atau TKW. Namu  ia membawa masalah, yaitu tidak tahu siapa orang tua si bocah itu.

Dari Arab Saudi pun kita sering mendengar perkawinan campuran antarbangsa di antara para TKI dan TKW. TKW beristerikan orang India atau sebaliknya, TKI punya isteri lebih dari satu tanpa surat nikah alias bahkan nikah siri.

Di Malaysia, ada TKW beruntung punya suami warga setempat dan hidup sejahtera secara ekonomi. Tetapi ada pula bernasip sial, dapat perlakuan mengenaskan. Dari Hongkong pun terdengar TKW bekerja tak dapat gaji setelah mengalami kekerasan seksual.

Penulis tak ingin membahas kasus kriminal yang dilakukan majikan dan TKW di negeri orang. Tapi soal kawin mawin yang terjadi di negeri jiran dan tak dapat perhatian pemerintah terasa penting diangkat agar pemangku kepentingan tidak tinggal diam.

Dalam Islam, nasab seseorang atau asal usul seseorang sejak dulu sudah dianggap penting. Hal itu terkait dalam urusan agama itu sendiri maupun urusan administrasi kependudukan. Lantaran anak lahir dari hasil kumpul kebo, nikah siri ya tentu saja menyulitkan anak dan masa depannya. Seperti hak untuk mendapatkan identitas berupa KTP, paspor, fasilitas pendidikan dan kesehatan.

Biang kerok itu terjadi lantaran pemerintah tidak hadir di situ. Andai saja atase agama di sejumlah negara yang menjadi kantong-kantong tenaga kerja kita hadir, maka upaya meminimalisir peristiwa kumpul kebo dan perkawinan antarbangsa ilegal dapat dikurangi.

**

Sungguh, menjadi menteri agama itu mudah. Tinggal tunjuk, maksudnya memerintahkahkan anak buah mulai sekjen, dirjen, kepal biro hingga pejabat eselon tiga bisa kapan saja dilakukan. Tak perlu staf khusus karena hanya membebani keuangan negara, apa lagi punya mental korup.

Sungguh, menjadi menteri agama itu mudah. Jika pekerjaan anak buah bagus kita tinggal manggut tanda setuju dan menggelengkan kepala tanda tidak setuju atau marah manakala pekerjaan anak buah kerjanya tak becus.

Sungguh pekerjaan menteri agama itu mudah. Sejak lahir manusia sudah jadi urusannya. Kala dewasa, nikah dan lainnya diatur kepala KUA, dan meninggal pun mandin diurus amil - pemandi jenazah - yang tak pernah diurus kementerian itu. Itu semua sudah berjalan lama dan normal.

Manusia hidup di Indonesia - apa pun status sosialnya - selalu berurusan dengan agama. Bila manusia itu ateisme, sudah ada pula pihak relawan peduli. Hebat, kan?

Urusan ritual keagamaan pun, seperti haji, rumah ibadah, dapat diatur dengan regulasi tersendiri. Masalah kerukunanan antarumat, sudah ada mejelis-majelis agama dan pusat kerukunanan antarumat. Kalau pun terjadi perselisihan di akar rumput, dapat dipastikan pihak kepolisian turun tangan.

Tetapi, yang sulit menjadi menteri agama adalah apakah kita dapat kepercayaan dari presiden di negeri ini. Apakah kita pantas mengenakan baju longgar sementara badan sendiri ceking. Atau baju sempit dipaksa dikenakan kepada orang gemuk. Jadi, jika temanya ditentukan kalau saya jadi menteri agama, ya tentu bisa saja orang berandai-andai akan memperbaiki berbagai hal yang menyangkut pelayanan publik.

Anehnya, di tengah orang banyak ingin jadi menteri, kok masih ada tangan kotor di kementerian itu. Karenanya, kalau saya jadi menteri agama, diri saya harus menjadi contoh bagi yang lain dengan menjauhkan pejabat berakhlak korup, berantas korupsi dan memberi jaminan para pemeluk agama dan kepercayaan dapat menjalankan ibadah sebagaimana mestinya.

Jadi, memberantas hoaks penting tetapi ada yang lebih terpenting. Yaitu, memperbaiki akhlak umat dengan memberdayakan seluruh pemangku kepentingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun