Sejatinya paling mudah pekerjaan jadi menteri agama dibanding jadi menteri-menteri lain dalam Kabinet Kerja di bawah Presiden Joko Widodo (JK) dan Jusuf Kalla (JK) pada periode lima tahun lalu (2014 - 2019), karena untuk jabatan menteri ini - siapa pun orangnya - dalam bekerja tinggal tunjuk, menggeleng dan marah.
Namun saya heran pekerjaan mudah itu tidak bisa diselesaikan yang menjadi domain menteri yang mengurusi agama-agama di Indonesia. Sebut saja yang paling terlihat di ujung mata dan kerap menimbulkan soal di masyarakat adalah kumpul kebo. Coba saksikan kasus prostitusi di Hotel Alexis yang paling menonjol.
Sayogianya urusan kompul kebo' -hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan - atau samenleven di sejumlah hotel dan kawasan prostitusi itu sudah selesai di negeri ini jika sejak dulu pemangku agama bergerak dan bekerja. Artinya, tidak seperti sekarang yang melulu diserahkan kepada aparat kepolisian dan Pemda. Jika saja menteri agama bisa optimal memberdayakan para ustaz, ustazah, ulama, organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam, tentu hal itu tak tumbuh demikian besar.
Tulisan ini tidak bermaksud menyindir jajaran kementerian agama. Juga tak bermaksud merendahkan menteri agama yang terlihat bekerja lebih menonjol pada saat acara serimonial keagamaan, namun penulis ingin mengajak semua pihak merenungkan bahwa kebejatan prostitusi tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada polisi dan pemerintah daerah semata. Kalau saya pada posisi seperti menteri, penting menjadi motor atau penggerak bagi umat berada di barisan terdepan. Juga termasuk memerangi hoaks (hoax) seperti yang diarahkan admin Kemenag dan Kompasiana dengan para penulisnya.
Mengapa?
Kerusakan akhlak di negeri ini tak dapat lepas dari hal ini. Coba perhatikan, sesekali menteri agama dapat menyamar menjadi orang biasa dan pergi ke hotel eks, misalnya. Boleh jadi di situ ada transaksi seks. Di situ juga ada jual minuman keras, di situ juga ada judi, dan tak ketinggalan narkoba pun hadir.
Lebih parah lagi, kurban kekerasan seksual pada anak terjadi di sini. Kita tak perlu malu atau berupaya menutup mata adanya perdagangan wanita yang masih marak di negeri ini. Jadi ikutan dari dampak manusia hidup kumpul kebo dan diberi toleransi manjamur telah menjauhi umat dari Rahmat Allah. Soal rahmat itu, seorang menteri jauh lebih pandai. Apa lagi punya pembantu dirjen, kepala litbang dan seterusnya.
Kasus perceraian di tanah air juga tak lepas dari hadirnya kumpul kebo. Suami hidup serong, perempuan selingkuh lalu kumpul kebo dapat terjadi lantaran ketiadaan pembinaan akan pemahaman agama. Coba perhatikan, sekarang ini tidak ada lagi kursus pengantin bagi pemuda yang akan melangsungkan pernikahan. Anggaran bagi petugas BP4 Â untuk melestarikan pernikahan anggarannya dihapus.
Jadi, tidak heran seorang anak yang kini dipermudah untuk nikah, ke depan, tidak lagi punya landasan kuat untuk hidup berumah tangga. Pasalnya, mereka tak dibekali pemahaman agama untuk berumah tangga yang baik. Pondasinya rapuh. Keadaan diperparah mencuatnya hoaks dalam pemberitaan di media sosial, akibat lemahnya ajakan memerangi pemberitaan bohong itu. Apa lagi pada tahun Pilkada dan Politik, elite politik ikut memperkeruh iklim kedamaian yang sudah tercipta.
Itu kasus yang sering kita jumpai di dalam negeri. Bagaimana bagina WNI di luar negeri?
Wuih. Di sini lebih ngeri. Bisa jadi anak tidak tahu nasabnya. Tidak tahu asal usul orang tuanya karena di situ negara tidak hadir. Mengapa?