Masih terbayang di benak akan perkampungan jemaah An-Nadzir. Warganya ramah meski pada awal masuk ke kampung itu sebagian warga, ini hanya dugaan penulis, curiga karena memandangi tampilanku sebagai orang asing. Apa lagi yang berkunjung bermata sipit yang dikesankan sebagai warga keturunan dan non-Muslim tentunya.
Bagi sebagian warga Sulawesi Selatan (Sulsel) dapat dipastikan tahu jika disebut jemaah rambut pirang dan berjubah hitam yang bermukim di tepi Danau Mawang, Gowa. Mereka itu adalah jemaah An-Nadsir. Bila dihitung jarak pemukiman An-Nadzir, ya nggak terlalu jauh sih, hanya 20 km dari kota Makassar.
Jemaah An-Nadzir ini sepertinya menjauh dari keramaian. Bisa jadi, dengan cara itu, mereka berpandangan bisa lebih khusyuk beribadah. Sungguh, kedatangan penulis sekitar medio 2008 ke kawasan itu terdorong rasa ingin tahu apa yang terjadi di sana. Terlebih pada saat itu tengah ramai pemberitaan aliran sesat.
Ketika itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan pernyataan Al-Qiyadah merupakan aliran "sesat dan menyesatkan" disusul vonis dari pengadilan kepada pimpinannya, Ahmad Mushaddeq. Karenanya, penulis gembira disertakan bersama seorang pejabat dari Ditjen Bimas Islam, Bapak Baihaqi untuk melakukan investigasi ke lapangan.
Wah, keren deh. Jadi tim investigasi Kemenag untuk sebuah aliran sesat. Padahal, ilmu keagamaan penulis terasa masih cetek. Tapi, karena menyandang nama kementerian itu rasa percaya diri (pede) muncul.
Sebagai pegangan sebelum bertolak dari Bandara Soekarno - Hatta menuju Makassar, penulis dibekali panduan tentang 10 kriteria aliran Islam yang masuk kategori sesat.
Yaitu: Pertama, ingkar terhadap rukun iman dan rukun Islam, Kedua meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar'i, yakni Alquran dan Sunnah, Ketiga, meyakini turunnya wahyu setelah Alquran. Keempat, mengingkari otentisitas dan kebenaran Alquran. Kelima, menafsirkan Alquran yang tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir.
Keenam, mengingkari kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam. Ketujuh, melecehkan atau mendustakan nabi dan Rasul. Kedelapan, mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan Rasul terakhir. Kesembilan, mengurangi atau menambahkan pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah. Kesepuluh, mengkafirkan sesama Muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Bagaimana sih awal ceritanya An-Nadzir itu?
Jemaah berambut pirang, berjenggot panjang dan berjubah hitam yang bermukim di Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan (Sulsel) awalnya adalah sebuah yayasan yang didirikan di Jakarta. Alamat pertama di Jalan Bougenville Nomor Z-16 Kompleks Nyiur Melambai, Jakarta Utara.
Yayasan itu pada 8 Februari 2003 didirikan sesuai akta notaris Hariana Wahab Yusuf SH. Dalam akta pendirian itu, An-Nadzir, antara lain disebutkan melakukan kegiatan keagamaan. Kegiatan lain, melakukan pembinaan terhadap umat untuk berakhlaqul-karimah mulai diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
Kegiatan keagamaan yang lain adalah menegakkan visi penegakan hukum Allah, sunnah Rasulullah, dan peradaban Islami. Tokoh yang dihormati dalam An-Nazir adalah K.H. Syamsuri Abdul Majid yang bergelar Syeikh Muhammad Al-Mahdi Abdullah yang meninggal di Jakarta pada 2006.
Berita bernada minor tentang An-Nadzir muncul seputar pelaksanaan shalat yang hanya tiga waktu, haji yang tidak perlu ke Makkah, pernikahan yang tidak perlu dicatat di kantor urusan agama kecamatan.
Kabar buruk tersebut semakin menguat setelah munculnya sebuah penelitian terhadap An-Nadzir di Palopo yang dilakukan pada 2005 oleh Ramlah Hakim dari Kementerian Agama.
Apakah benar semua itu?
Saat itu Kantor Departemen Agama (kini Kementerian Agama) Kabupaten Gowa, yang mendapat kabar tersebut, tidak tinggal diam. Gerak-gerik An-Nadzir yang kelihatannya tidak lazim di mata umat muslim umumnya diamati secara terus-menerus.
Kepala Kantor Depag Goa, M. Ahmad Muhajir, lantas memperlihatkan dokumen yang mencatat adanya dua kali diadakan pertemuan para tokoh organisasi massa (ormas), kepolisian, dan An-Nadzir, pada 9 Oktober dan 14 November.
Di antara catatan pertemuan itu memang ada sedikit menyimpan curiga terhadap An-Nadzir, namun belum sampai pada satu kesimpulan.
Di Goa, penulis bersyukur dapat diterima Ustadz Lukman didampingi panglimanya, Rangka. Kedua tokoh ini memberikan penjelasan yang diawali dengan pengucapan salam, basmalah, dan syahadatain secara benar.
Mereka menyebut misi pertama An-Nadzir adalah menegakkan hukum Allah. Saat ini hukum Allah dan Rasulnya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Tidak sedikit pun ada niat pada An-Nadzir untuk mendirikan negara Islam.
"Tidak ada gunanya mendirikan negara Islam karena yang akan ditanya pada hari kiamat nanti bukan tentang kenegaraan, tapi tentang keislaman diri kita masing-masing," Lukman menjelaskan.
Tentang waktu shalat, shalat fardu yang dilakukan oleh jamaah An-Nadzir tetap lima rakaat. Hanya waktu pelaksanaannya yang tidak lazim.
Misalnya, shalat zuhur yang dilaksanakan pada akhir waktu mendekati ashar. Sedangkan, shalat ashar dilakukan pada awal waktu, sehingga terjadi "pemepetan" kedua waktu shalat.
Shalat maghrib dilaksanakan tersendiri sebagaimana shalat maghrib pada umumnya umat Islam. Shalat isya dan subuh dilaksanakan dengan pemepetan mirip dengan pelaksanaan shalat zuhur dan ashar.
Dengan demikian dari luar terkesan waktu shalat hanya tiga waktu.
Penentuan waktu shalat pun unik. Awal waktu zuhur terjadi manakala bayang-bayang benda di bawah sinar matahari sudah sepanjang bendanya. Jika bayang-bayang itu sudah dua kali lipat bendanya, maka masuklah waktu ashar.
Menyangkut haji, dijelaskannya, tidak benar kalau An-Nadzir menganggap haji itu tidak perlu ke Makkah.
Hanya, An-Nadzir melihat bahwa pelaksanaan haji oleh jamaah Indonesia sudah tidak memiliki nilai ibadah lagi karena memaksakan diri berangkat haji dengan uang yang penuh dengan riba dan uang tidak bersih lainnya. Itu menentang Allah namanya. Banyak jamaah An-Nadzir sudah melakukan umrah.
Keempat, An-Nadzir tidak anti-pemerintah, termasuk dalam hukum perkawinan.
"Kami memang menikahkan sendiri calon pengantin dari kalangan kami, tapi peristiwa nikah disaksikan dan dicatat oleh petugas pencatat nikah dari KUA setempat."
Mujahid, Kepala KUA Kecamatan Bonto Marannu, yang ikut mendampingi membenarkan hal itu.
Lukman mengaku bahwa jemaah yang dipimpinnya tak menentang pemerintah. An-Nadzir juga hidup tidak eksklusif terhadap pemerintah dan masyarakat.
An-Nadzir tidak ingin merepotkan pihak lain, terutama dalam hal pendanaan kegiatan ekonomi. Namun, jika ada bantuan yang dikucurkan, maka pihaknya menerima dengan ikhlas.
Oleh karena itu, ketika beberapa pejabat dari Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Depag pada akhir Juli 2008 memberi bantuan modal usaha, maka pihaknya menerimanya secara suka cita.
Menyangkut perihal penghitungan kalender hijriyah, jemaah tersebut mempunyai metode yang diyakininya benar. Fenomena alam memang menjadi pertanda, tapi bukan satu-satunya.
Untuk menetapkan tanggal 1, An-Nadzir menghitung peredaran bulan pada bulan sebelumnya. Pergantian bulan tidak selalu terjadi pada sore menjelang malam, tapi bisa juga pada tengah hari.
Fenomena alam, berupa naiknya air laut ke permukaan, adalah pertanda terjadinya gaya tarik bulan dan matahari menjelang tanggal 1. Posisi matahari-bumi-bulan saat itu berada pada garis lurus. Â
An-Nadzir tidak pernah memaksakan pemahamannya kepada orang lain. Mereka hanya menarik jamaah dari keluarga terdekat. Â Berdakwah ke luar perlu pengondisian secara matang, lantaran ketika berdakwah, maka Rasulullah pun menempuh cara itu.
Cara mereka mengelola potensi ekonomi untuk menghindari pembebanan kepada pihak lain diyakini akan menarik simpati orang lain.
Jika merujuk kepada parameter "rukun tidak sesat" berupa 10 kriteria bagi sebuah aliran dinilai sesat yang ditetapkan Kementerian Agama, maka An-Nazir belum menyentuhnya.
Dengan kata lain, An Nadzir bebas dari sebutan sesat dan menyesatkan.
Catatan:
Sebagian materi tulisan ini telah dimuat di antaranews
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H