Tentang waktu shalat, shalat fardu yang dilakukan oleh jamaah An-Nadzir tetap lima rakaat. Hanya waktu pelaksanaannya yang tidak lazim.
Misalnya, shalat zuhur yang dilaksanakan pada akhir waktu mendekati ashar. Sedangkan, shalat ashar dilakukan pada awal waktu, sehingga terjadi "pemepetan" kedua waktu shalat.
Shalat maghrib dilaksanakan tersendiri sebagaimana shalat maghrib pada umumnya umat Islam. Shalat isya dan subuh dilaksanakan dengan pemepetan mirip dengan pelaksanaan shalat zuhur dan ashar.
Dengan demikian dari luar terkesan waktu shalat hanya tiga waktu.
Penentuan waktu shalat pun unik. Awal waktu zuhur terjadi manakala bayang-bayang benda di bawah sinar matahari sudah sepanjang bendanya. Jika bayang-bayang itu sudah dua kali lipat bendanya, maka masuklah waktu ashar.
Menyangkut haji, dijelaskannya, tidak benar kalau An-Nadzir menganggap haji itu tidak perlu ke Makkah.
Hanya, An-Nadzir melihat bahwa pelaksanaan haji oleh jamaah Indonesia sudah tidak memiliki nilai ibadah lagi karena memaksakan diri berangkat haji dengan uang yang penuh dengan riba dan uang tidak bersih lainnya. Itu menentang Allah namanya. Banyak jamaah An-Nadzir sudah melakukan umrah.
Keempat, An-Nadzir tidak anti-pemerintah, termasuk dalam hukum perkawinan.
"Kami memang menikahkan sendiri calon pengantin dari kalangan kami, tapi peristiwa nikah disaksikan dan dicatat oleh petugas pencatat nikah dari KUA setempat."
Mujahid, Kepala KUA Kecamatan Bonto Marannu, yang ikut mendampingi membenarkan hal itu.
Lukman mengaku bahwa jemaah yang dipimpinnya tak menentang pemerintah. An-Nadzir juga hidup tidak eksklusif terhadap pemerintah dan masyarakat.