Diam-diam para politisi mendatangi kawasan Pariwisata Guci, Tegal, Jawa Tengah. Ngapain, ya? Ya, ngapain lagi kalau bukan untuk mandi. Berharap (meski hal itu diucap dalam hati) mendapat berkah. Lebih dari itu, memperoleh keberuntungan dan sukses pada tahun Pilkada 2018.
Obyek Wisata (OW) Guci, Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, belakangan ini makin ramai setelah jalan tol menuju kawasan itu terbuka. Guci pun belakangan ini menjadi kawasan pariwisata menarik bagi warga Jakarta meski dapat ditempuh sekitar 5 hingga 6 jam dengan kendaraan pribadi.
Ketika kawasan wisata Puncak, Jawa Barat, mengalami musibah berupa longsor sehingga ruas jalan di daerah itu tidak dapat dilalui, objek wisata Guci menjadi pilihan bagi warga Jakarta. Pada 30 Maret-1 April 2018 silam, penulis mendatangi kawasan itu bersama sejumlah rekan dan keluarga. Awalnya sih kepingin ke Puncak. Tapi, karena peristiwa jalan tertimbun tanah longsor, maka jadilah ke Guci mengingat udaranya di situ sejuk dan dingin.
Ahmad, salah seorang petugas objek wisata setempat mengaku, saat lebaran lalu wisatawan yang masuk ke Guci diperkirakan mencapai 100 ribu lebih. Wuih hebat. Pantas saja politisi juga tertarik karena mereka menilai mengunjungi objek wisatawan itu pasti punya nilai plus.
Lalu, siapa politisi yang pernah berkunjung ke kawasan pariwisata ini? Ada sih, tapi tidak perlu diungkap. Mengunjungi objek wisata bagi setiap orang adalah hak privasi seseorang. Tapi, apakah benar mereka mandi di kolam air panas semata-mata untuk mendapatkan berkah? Sukses dan terpilih sebagai anggota dewan, atau menjadi bupati, wali kota dan gubernur?
Apa sih keistimewaan wisatawan Guci?
Fokus wisatawan yang datang umumnya ke pemandian air panas. Ada pula yang beristirahat di villa atau penginapan sambil menikmati sejuknya udara dingin di lereng Gunung Slamet. Di luar itu, objek wisata di kawasan itu ya biasa-biasa saja. Malah, terkesan semrawut karena lokasi pasar tidak ditata dengan apik.
Apa lagi menyaksikan penempatan lokasi parkir. Kotor, tidak beraturan penataannya.
Awalnya, menurut berbagai sumber, Guci ini adalah sebuah objek wisata air panas. Warga setempat kemudian meyakini air tersebut bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dan membuat awet muda.
Istilah Kaputihan pertama kali dipekenalkan Kyai Ageng Klitik (Kyai Klitik ) yang sesungguhnya adalah Raden Mas Arya Wiryo cucu Raden Patah Bangsawan dari Keraton Mataram Ngayogjokarto Hadiningrat asal dari Demak.
Setelah beliau Kyai Klitik menetap lama di lereng gunung Slamet (kampung Kaputihan), menurut sejarahnya, maka banyak warga berdatangan dari tempat lain sehingga kampung kaputihan menjadi ramai. Suatu ketika datanglah Syech Elang Sutajaya utusan Sunan Gunung Jati (Syech Syarief Hidayatulloh) dari Pesantren Gunung Jati Cirebon untuk Syiar Islam.
Dalam kesempatan itu pula Sunan Gunungjati berkenan mendo'akan sumber air panas di kampung Kaputihan agar bisa di pergunakan untuk menyembuhkan segala penyakit.
Semenjak itu karena Guci yang berisi air yang sudah di doakan Sunan Gunungjati ditinggal di Kaputihan dan selalu di jadikan sarana pengobatan, maka warga setempat menyebut-nyebut Guci-Guci. Sehingga Kyai Klitik selaku Kepala Dukuh Kaputihan mengubahnya menjadi Desa Guci. Ia pun diangkat sebagai lurah pertamanya.
Hingga kini sudah menjadi tradisi bagi warga setempat dan dari luar daerah setelah berziarah ke makam Walisongo khususnya Sunan Gunungjati sebagai penyempurna terakhir dapat dipastikan mandi air panas di Guci untuk memperoleh berkah kesehatan dan penyembuhan segala penyakit.
Bisa jadi, hal ini pulalah yang mendorong para politisi menyempatkan diri berkunjung ke Guci. Berharap berkah?
Catatan: sumber bacaan 1 dan 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H