Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rocky Gerung, Jika Kitab Suci itu Fiksi, Bagaimana dengan Isra Miraj?

13 April 2018   14:36 Diperbarui: 15 April 2018   09:42 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mumpung memperingati Isra Mi`raj, ada baiknya disinggung sedikit tentang peristiwa penting itu terkait cara berpikir anak kecil yang masih sulit menerima pemahaman tentang kekuasaan Ilahi. Apa lagi kini tengah hangat perbincangan seputar kitab suci disebut sebagai fiksi.

Kala masi kecil, penulis sering bertanya kepada orang tua dan para guru ngaji. Kok, seorang Nabi Muhammad SAW bisa terbang menembus langit? Punya sayapkah Ia? Lalu, di sana, bisa menjumpai para nabi yang telah wafat dan kemudian kembali ke bumi setelah mendapat perintah menjalankan kewajiban shalat lima waktu.

Kala masih kecil pula, penulis sering bertanya-tanya, dengan kendaraan apa Nabi Muhammad SAW bisa terbang ke langit ketujuh dalam waktu sekejap?

Apa bila pertanyaan-pertanyaan penulis semasa kecil itu diingat, tentu betapa sungguh totolnya penulis saat itu.Tapi, ya namanya anak kecil, cara pandang dan berpikir pun dangkal. Mulut dan pikir belum nyambung, kadang asal goblek. Hehehe...

Dulu, untuk memudahkan pemahaman bagi seorang bocah, sang ustaz menjelaskan bahwa kekuasaan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, bisa mengubah keadaan dengan seketika. Dicontohkan, jika saat itu panas terik, atas kehendak-Nya, bumi dalam seketika disirami hujan.

Kun fayakun. Kata-kata itu serung dikutip sang ustaz, karena kalimat itu menunjukkan kedahsyatan kehendak Allah SWT. "Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: 'Jadilah!', maka terjadilah ia". (QS Yasin ayat 82).

Demikian halnya pergi ke langit. Itu hal mudah bagi-Nya. Coba perhatikan, siapa yang bisa memprediksi seekor semut tinggal di Bandung dalam hitungan waktu satu jam bisa pindah ke Jakarta hanya disebabkan terbawa oleh penumpang yang naik pesawat. Saat itu, si semut menempel pada roti tadi dan ikut terbawa bersama penumpangnya.

Dalam berbagai literatur, para ulama sepakat bahwa Isra Mi`raj terjadi pada 27 Rajab, tahun 11 kenabian. Bila Muhammad menjadi Nabi pada usia 40 tahun, berarti peristiwa Isra` Mi`raj itu terjadi 11 tahun berikutnya, yaitu pada saat Muhammad berusia sekiar 51 tahun.

Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW "diberangkatkan" oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa dengan menaiki Buraq.

Buraq adalah kendaraan tercepat dan tak ada kendaraan menandingi kecepatannya. Buraq ini bergerak cepat dari Masjidil Haram sampai Masjidil Aqsa dari Mekah sampai Yerussalem dalam waktu cepat. Sedang dalam Mi`raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha, tempat tertinggi.

Tatkala Nabi sampai ke langit tertinggi, Allah SWT memerintahkan Nabi agar umatnya disuruh shalat 50 kali sehari. Pada saat itu, Nabi Musa datang dan berkata bahwa perintah itu terlalu berat dan meminta Nabi agar bermohon kepada Allah SWT supaya perintah shalatnya dikurangi.

Saat Nabi berhadapan Allah SWT, Nabi meminta shalatnya dikurangi. Maka, Allah pun mengabulkannya sehingga dikurangi menjadi 45 kali sehari. Tetapi, Nabi Musa meminta kepada Nabi agar mengurangi lagi. Maka Nabi kembali ke hadapan Allah. Allah menguranginya, namun Nabi Musa menyatakan kelebihan sehingga terus dikurangi hingga shalat lima waktu menjadi yaitu Subuh (2 rakaat), Dzuhur (4 rakaat), Ashar(4 rakaat), Maghrib (3 rakaat) dan Isya (4 rakaat).

**

Apa bila tulisan di atas dikaitkan dengan pernyataan Rocky Gerung bahwa kitab suci itu fiksi, boleh jadi pula dugaan penulis bahwa Pengamat Politik sekaligus Dosen Filsafat UI, Rocky Gerung menyebut bahwa peristiwa Isra' Mi'raj adalah fiksi pula. Sama dengan kitab suci, yang tidak disebut kitab suci agama mana?

Pengamat Politik sekaligus Dosen Filsafat UI, Rocky Gerung, pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (10/4/2018), mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi. Fiksi, masih menurutnya, berbeda dengan fiktif.

Berulang-ulang penulis menyaksikan video ILC ketika Rocky menjelaskan tentang fiksi itu. Penulis bukan pakar bahasa dan politik, namun menangkap pengertian yang dimaksud Rocky berbeda jauh dengan yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balaipustaka.

Dalam kamus ini, ketika penulis buka pada halaman 276, fiksi diartikan sebagai cerita rekaan (roman, novel, dsb), rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan, pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran.

Juga bukan dalam pengertian fiktif seperti yang dicontohkan dalam kamus itu. Fiktif - a bersifat fiksi, hanya terdapat di khayalan. Contoh kalimat Pengantin Kali Ciliwung ini adalah cerita ... belaka; untuk bulan ini ia terpaksa membuat laporan ... untuk kegiatan yang dikelolanya.

Fiksi, menurut Gerung, adalah energi untuk mengaktifkan imajinasi. Lawannya realitas. Bukan fakta. Fiksi bukan sekedar prediksi tapi destinasi. Fiksi itu baik. Yang buruk fiktif. Fiktif sama dengan bohong. Fiksi dimaksudkan untuk tiba di ujung harapan janji. Itu baik.

Selama ini, menurut dia, kita dibuat dungu. Fiksi dianggap negatif karena dibebani oleh kebohongan, sehingga fiksi itu selalu dimaknai dengan kebohongan. Fiksi adalah energi yang dihubungkan dengan telos, dan itu sifatnya fiksi. Dan itu baik. Fiksi adalah fiction, dan itu berbeda dengan fiktif.

Dirinya juga mengungkapkan makna telos yang dalam bahasa Yunani yang memiliki arti akhir, tujuan ataupun sasaran. Rocky kembali menekankan bahwa fiksi adalah baik, sedangkan yang buruk adalah fiktif.

**

Bagi umat Islam, Isra' dan Mi'raj merupakan peristiwa yang berharga karena melalui kejadian itulah perintah shalat lima waktu diwajibkan. Terlebih dalam sejarah para nabi tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini.

Jika dikaitkan dengan pemahaman fiksi seperti yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tentu umat dapat dipastikan akan menolak bahwa peristiwa Isra' dan Mi'raj itu sebagai fiksi. Namun jika kata fiksi itu digunakan sebagaimana yang dimaksud Rocky, ya tentu akan terus menimbulkan perdebatan panjang. Penulis pun masih belum paham definisi tentang fiksi menurut versi Rocky.

Apalagi masyarakat masih berpegang kuat dengan pemahaman kata fiksi sebagaimana tercantum dalam kamus. Dan, selagi memasuki bulan Ruwah ini, di mana banyak umat tengah merayakan Isra' Mi'raj di berbagai tempat ibadah, penulis khawatir peristiwa penting itu ikut terseret dalam pemahaman keliru, sebagai peristiwa khayalan.

Kini yang penting, biarkan Rocky menjelaskan pemahamannya tentang fiksi. Bila perlu ia diajak berdiskusi dengan pakar bahasa. Beri dia keleluasaan sehingga tafsir tentang fiksi tidak dimonopoli sendiri. Dengan demikian peristiwa Isra' dan Mi'raj tetap dapat dipahami umat sebagaimana mestinya.

Rasulullah, Nabi Muhammad SAW memang sempat sedih tentang peristiwa yang dialaminya itu. Sebab, banyak orang yang tak percaya dengan hal ini. Banyak Muslim Makkah yang kafir karena tak percaya akan kejadian itu. Namun ada sahabat Nabi Muhammad SAW yang percaya, yaitu Abu Bakar.

Sahabat Nabi Muhammad SAW itu mengaku bahwa yang dikatakan oleh Nabi pasti benar. Lantas, Abu Bakar digelari as-Sidiq yang artinya percaya pada setiap perkataan Nabi Muhammad SAW.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun