Bagi umat Islam, Isra' dan Mi'raj merupakan peristiwa yang berharga karena melalui kejadian itulah perintah shalat lima waktu diwajibkan. Terlebih dalam sejarah para nabi tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini.
Jika dikaitkan dengan pemahaman fiksi seperti yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tentu umat dapat dipastikan akan menolak bahwa peristiwa Isra' dan Mi'raj itu sebagai fiksi. Namun jika kata fiksi itu digunakan sebagaimana yang dimaksud Rocky, ya tentu akan terus menimbulkan perdebatan panjang. Penulis pun masih belum paham definisi tentang fiksi menurut versi Rocky.
Apalagi masyarakat masih berpegang kuat dengan pemahaman kata fiksi sebagaimana tercantum dalam kamus. Dan, selagi memasuki bulan Ruwah ini, di mana banyak umat tengah merayakan Isra' Mi'raj di berbagai tempat ibadah, penulis khawatir peristiwa penting itu ikut terseret dalam pemahaman keliru, sebagai peristiwa khayalan.
Kini yang penting, biarkan Rocky menjelaskan pemahamannya tentang fiksi. Bila perlu ia diajak berdiskusi dengan pakar bahasa. Beri dia keleluasaan sehingga tafsir tentang fiksi tidak dimonopoli sendiri. Dengan demikian peristiwa Isra' dan Mi'raj tetap dapat dipahami umat sebagaimana mestinya.
Rasulullah, Nabi Muhammad SAW memang sempat sedih tentang peristiwa yang dialaminya itu. Sebab, banyak orang yang tak percaya dengan hal ini. Banyak Muslim Makkah yang kafir karena tak percaya akan kejadian itu. Namun ada sahabat Nabi Muhammad SAW yang percaya, yaitu Abu Bakar.
Sahabat Nabi Muhammad SAW itu mengaku bahwa yang dikatakan oleh Nabi pasti benar. Lantas, Abu Bakar digelari as-Sidiq yang artinya percaya pada setiap perkataan Nabi Muhammad SAW.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H