Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kaleng Rombeng

18 Maret 2018   19:23 Diperbarui: 18 Maret 2018   19:52 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Masrur dengan kebiasaannya tendang kaleng rombeng. Foto | thepinsta.com

Tidak ada bosannya. Setiap hari Masrur menendang kaleng kosong hingga penyok dan menimbulkan suara gaduh. Sepulang sekolah, di tepi gang sempit, kebiasaan itu terus berlanjut hingga ia duduk di sekolah lanjutan pertama.

Memang ada perbedaan. Ketika masih sekolah dasar, kaleng yang ditendang ukuran setengah liter. Tapi, sekarang sudah beranjak ke kaleng rada besar. Kira-kira ukuran satu liter. Masrur berfikir, suara kerontang yang keluar dari kaleng kosong ketika ditendang terasa ramai. Apa lagi saat kaleng ditendang dan membentur benda keras di sekitar, suaranya nyaring tidak beraturan.

Kerontang.... Kerontang... krontang.

Masrur kini dirinya merasa sebagai pemain sepakbola beken. Kosohor. Seperti para pemain sepakbola di klub-klub besar Eropa. Begitu menghayalkan dirinya kalau sudah besar.

Masrur tidak peduli dengan orang sekitar ketika sedang mendang kaleng kosong. Kadang ketika ada tembok pagar, kaleng ditendang semakin keras. Kaleng membentur tembuk. Tiap hari selalu saja ia lakukan itu dengan berganti-ganti kaleng.

Ya jelas penyoknya makin besar dan suara yang ditimbulkan makin terasa tidak nyaman didengar orang yang tengah lalu lalang. Tapi, bagi warga yang biasa dilintasi perjalanan Masrur setiap pulang sekolah sudah memahami tingkah polah dan kebiasaan anak yang satu ini.

Kedua orang tua Masrur pun sudah tahu perangai anak semata wayangnya itu. Masrur memang sering bercerita kepada orang tuanya ingin menjadi pemain sepakbola terkenal. Seperti Maradona yang disebut-sebut punya tangan tuhan. Nama Maradona sering didengarnya ketika sesama guru sekolah mendiskusikan pertandingan sepakbola.

Mencegah kebiasaan anaknya menendang kaleng rongsokan sepulang sekolah, pernah diupayakan orang tua Masrur, yang di kalangan Gang Rambo, pinggiran wilayah Jakarta itu, dikenal sebagai Abah Sucak.

Disebut Sucak, karena warga tahu si Abah yang punya nama lengkap H. Zulkarnaen itu dikenal sebagai guru pencak. Karena itu dipanggil Abah Sucak -- suka pencak -- atau pencak silat. Abah Sucak dikenal orang yang ramah, dermawan selain juga sebagai guru silat.

"Udah, jangan menendang kaleng melulu. Sepatu sudah berapa banyak yang jebol, rusak menendangi kaleng ronsokan," pinta ibunya, Aisyah kepada putera semata wayangnya itu.

"Enak mak menendang kaleng," Masrur memberi alasan sambil berharap ibunya tetap setia membelikan sepatu baru kala sepatu yang dipakai sehari-hari sudah jebol.

"Tapi, awas ya. Hati-hati, jangan sampai mengganggu orang?"  Aisyah memohon kepada anaknya.

**

Kini kedua orang tua Masrur, Abah dan Aisyah gelisah melihat perkembangannya setelah dewasa. Pasalnya, setelah gagal seleksi masuk tim sepakbola nasional perilakunya berubah. Ia menjadi seorang yang amat cerewet.

Dulu, ketika duduk di bangku sekolah lanjutan atas, Masrur tergolong punya prestasi hebat sebagai pemain sepakbola. Tetapi ia pendiam. Tidak ada tanda-tanda ia punya mulut bawel. Ia sangat aktif dalam kegiatan sekolah sepakbola yang dilatih mantan pemain nasional saat hari libur.

Di kalangan rekan-rekan klub sekolah sepakbola, Masrur dikenal sebagai pemain ujung tombak. Kadang ketika bertanding di kandang lawan, ia diposisikan sebagai kapten. Ia termasuk pemain penembak jitu, banyak mencetak gol.

Hobi bola dan belajar memang tidak pernah lepas pada diri Masrur. Ia paham sekali, sehebat apa pun prestasi olahraga hanya dihormati ketika ia meraih medali emas. Setelah itu, apa lagi ketika sudah tua, tidak dipandang lagi oleh orang banyak.

"Paling banter, ya dikenang sebagai mantan pemain sepakbola," kata si Abah menasihati anaknya.

"Iya, bah!" Masrur menjawab.

Dan, ia pun makin sadar bahwa kini olahragawan di Indonesia hanya dihargai dengan bonus ketika menang dari pertandingan. Saat menderita kalah, keok, caci maki berhamburan dari pengamat sepakbola. Padahal, komentator dan pengamat bola tidak pernah 'merumput' sekalipun di lapangan.

Karena itulah Masrur tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi tanpa melepaskan hobinya sebagai pemain sepakbola. Bukankah itu juga mengindahkan nasihat orang tua. Ia lantas masuk ke perguruan tinggi dengan pilihan fakultas hukum.

Pertimbangan memilih fakultas itu, diharapkan bisa menjadi pengacara kondang. Tampil di pengadilan, di lapangan meja hijau. Pikirnya, pengadilan juga tidak jauh-jauh amat dengan karakteristik pertandingan sepakbola.

Pada pertandingan sepakbola, unsur teknis, kemampuan sumber daya manusia atau pemainnya harus diperhitungkan dengan baik. Kekuatan lawan harus dikalkulasi, siapa sebagai ujung tombak, pemain belakang dengan segala karakternya. Unsur nonteknis pun harus diperhitungkan. Yaitu, kemampuan di luar lapangan.

Kadang wasit mengirim utusan, minta 'fee' sebelum bertanding. Kadang Bandar ikut mempengaruhi pemain, teman atau lawan. Bandar ikut mengatur skor pertandingan. Iming-iming duit kepada pemain. Jadi, tidak semata unsur kualitas pemain saja, pikir Masrur.

"Ini sepakbola ala kita, bukan di Eropa, bung?" kata Masrur ketika bercerita kepada rekannya.

**

Bisa jadi Masrur kini menjadi semakin cerewet setelah bersentuhan dengan dunia kepengacaraan dan berkumpul dengan orang-orang hebat di parlemen. Ia memukau orang banyak ketika tampil di berbagai pertemuan. Bicaranya lancar bagai air mengalir seperti penghotbah yang hafal ayat-ayat suci.

Ketika telunjuk menunjuk seseorang, jangan lupa empat jari di tangan yang sama menunjuk ke arah diri sendiri. Kalimat itu sering dipakai dan digunakan berkali-kali di berbagai kesempatan. Ketika bicara di hadapan orang banyak, Masrur juga tidak bosan mengulanginya.

Masrur makin berani mengeritik lembaga hukum. Ia menjadi beken. Sering tampil sebagai pembicara di berbagai tempat. Bicaranya keras, provokatif dan cenderung menyalahkan orang.  

"Bicara saja tanpa kerja nyata, itu sama saja dengan kaleng rombeng," ucapnya di hadapan awak media.

Orang sekitar mengenalnya memang bukan Masrur yang pengacara kondang itu, tetapi sebagai bocah kaleng rombeng mengingat latarbelakangnya sering menendang kaleng sejak kecil.

Karenanya, pihak kepolisian kesulitan mencari Masrur di kediamannya. Polisi menduga banyak warga setempat melinduginya. Masrur terlibat kasus berita bohong (hoaks), ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.

Ketika seorang warga menyebut kepada seorang polisi, apakah Masrur yang dimaksud si kaleng rombeng itu?

Polisi nampak binggung.

"Kalau itu yang dimaksud, rumahnya tidak jauh dari sini," ungkap seorang warga yang kemudian disusul pergerakan polisi yang cepat menangkapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun