"Tapi, awas ya. Hati-hati, jangan sampai mengganggu orang?" Â Aisyah memohon kepada anaknya.
**
Kini kedua orang tua Masrur, Abah dan Aisyah gelisah melihat perkembangannya setelah dewasa. Pasalnya, setelah gagal seleksi masuk tim sepakbola nasional perilakunya berubah. Ia menjadi seorang yang amat cerewet.
Dulu, ketika duduk di bangku sekolah lanjutan atas, Masrur tergolong punya prestasi hebat sebagai pemain sepakbola. Tetapi ia pendiam. Tidak ada tanda-tanda ia punya mulut bawel. Ia sangat aktif dalam kegiatan sekolah sepakbola yang dilatih mantan pemain nasional saat hari libur.
Di kalangan rekan-rekan klub sekolah sepakbola, Masrur dikenal sebagai pemain ujung tombak. Kadang ketika bertanding di kandang lawan, ia diposisikan sebagai kapten. Ia termasuk pemain penembak jitu, banyak mencetak gol.
Hobi bola dan belajar memang tidak pernah lepas pada diri Masrur. Ia paham sekali, sehebat apa pun prestasi olahraga hanya dihormati ketika ia meraih medali emas. Setelah itu, apa lagi ketika sudah tua, tidak dipandang lagi oleh orang banyak.
"Paling banter, ya dikenang sebagai mantan pemain sepakbola," kata si Abah menasihati anaknya.
"Iya, bah!" Masrur menjawab.
Dan, ia pun makin sadar bahwa kini olahragawan di Indonesia hanya dihargai dengan bonus ketika menang dari pertandingan. Saat menderita kalah, keok, caci maki berhamburan dari pengamat sepakbola. Padahal, komentator dan pengamat bola tidak pernah 'merumput' sekalipun di lapangan.
Karena itulah Masrur tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi tanpa melepaskan hobinya sebagai pemain sepakbola. Bukankah itu juga mengindahkan nasihat orang tua. Ia lantas masuk ke perguruan tinggi dengan pilihan fakultas hukum.
Pertimbangan memilih fakultas itu, diharapkan bisa menjadi pengacara kondang. Tampil di pengadilan, di lapangan meja hijau. Pikirnya, pengadilan juga tidak jauh-jauh amat dengan karakteristik pertandingan sepakbola.