Karenanya, kini pihak kepolisian tentu masih bekerja dan bakal memprosesnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Alasannya sudah jelas. Bahwa UU Pornografi memberi amanat, setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Dari sini sudah tergambar bahwa orang tua sudah melakukan pelanggaran berupa pembiaran anak mempertunjukan di muka umum penggambaran ketelanjangan. Hal itu erat kaitannya dengan pasal-pasal berikutnya pada UU tersebut.
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi. Harus ada penyadaran bagi setiap warga bahwa setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi dapat dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Kendati demikian, jika melihat kasus video tadi, ada kewajiban bagi pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
**
Jika melihat reaksi publik terhadap video dan viral tersebut, tidak terlalu memberikan reaksi berlebihan. Ada yang adem-ayem menyikapinya dan ada warga terlihat emosional.
Penulis jadi teringat ketika UU Pornografi dibahas di parlemen. Setelah diundangkan dan dievaluasinya oleh tim yang dipimpin Dr. Firdaus Syam, MA dari Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, UU tersebut senyatanya diterima tidak "bulat".
Sedari awal sudah ada reaksi dari mulai rancangan undang-undang antipornografi dan pornoaksi berupa penentangan keras dari sejumlah kelompok masyarakat daerah seperti Bali, Sulawesi Utara dan Papua. Bagi yang menolak, alasannya takut apabila kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan sebagai tradisi yang sudah turun temurun akan dikriminalisasi berdasarkan undang-undang pornografi.
Demikian pula saudara kita di Papua dengan kebiasaannya untuk menutup aurat itu secara seadanya, dengan kebiasaan itu masih terlihat bagian-bagian tubuh yang dianggap tabu untuk diperlihatkan atau dipertontonkan kepada umum.
Kini UU tersebut sudah dinyatakan berlaku meski perjalanannya berliku. Sebab, harus melewati proses uji materi (judicial review)Â di Mahkamah Konstitusi dan penentangan dari berbagai pihak. Sayangnya, seperti disebut Firdaus, berbagai lapisan masyarakat, praktisi, budayawan kalangan akademis maupun masyarakat luas masih belum merasakan efektifnya undang-undang tersebut.