Mengapa tak diberi makan oleh induknya, karena anak gagak -- sebut saja masih bayi -- kemunculannya dengan bulu putih. Lambat laun, bulu putihnya berubah warna, menjadi hitam.
"Jadi, selama bulu putihnya melekat, induknya tak bakal urusi tuh anaknya!" kata rekanku sambil meninggalkanku berdiri di pelalatan masjid.
Barulah aku paham, perilaku gagak banyak dicontoh di Tanah Air. Buktinya, banyak anak bayi dibuang. Hanya saja, pada burung gagak ini, induknya baru mengurusi anaknya setelah bulu hitamnya muncul.
Lantas, dari mana si anak gagak itu memperoleh makan. Ah, nggak usah dipikiran amat sih. Itu urusan Yang Maha Kuasa, pikirku. Dan, ternyata benar juga, selama berada di sarangnya, anak gagak memperoleh makanan dari binatang kecil, seperti semut yang mendatanginya.
Soalnya, ketika masih bayi, anak gagak mengeluarkan bau. Sudah pasti, ketika bau tak sedap terbawa udara, semut dan binatang lainnya tertarik mendekat. Ketika itulah, hap...lalu ditangkap dan dimakan si anak gagak.
***
Cerita temanku tentang gagak termasuk si raja tega ternyata bukan mitos. Sebab, baru saja si Polan bin Fulan meninggal gara-gara gagak.
Bagaimana si Polan bisa meninggal?
Tapi sebelum kabar meninggal itu dibahas lebih jauh, para petugas haji membuat kesepakatan. Dan mereka sepakat bahwa si Polan meninggal lantaran serangan jantung dan terjatuh. Awak media dilarang keras menyiarkannya. Cukup memberi tahu kepada publik bahwa Polan meninggal karena alasan tadi, serangan jantung dan jatuh.
Pers dilarang keras menyebut Polan meninggal karena gagak?
Aku protes. Ini era keterbukaan. Jarum jatuh saja wajib diberitakan sejauh hal itu memberi manfaat bagi masyarakat. Pers harus berpihak kepada kepentingan negara dan masyarakat.