"Hmm. Gagak hitam. Pernah dengar suaranya? Suara burung gagak itu."
"Pernah," jawabku singkat.
Ia menjelaskan, dari suaranya saja menyeramkan. Tapi, pernahkah burung ini mengeluarkan suara ketika berada di Masjidil Haram.
Mendapat pertanyaan seperti itu, aku terdiam. Aku menggelengkan kepala.
"Rasanya, nggak ada sih," kataku sambil melihat bangunan Masjidil Haram.
***
Sudah dua pekan pikiranku tercurah kepada burung gagak. Seolah diri ini melakukan monolog, berdialog seorang diri tentang gagak hitam yang tak kunjung memberi jawaban pasti. Benarkah seperti yang disebut si Bujang, rekan kerjaku itu selama di Tanah Suci ini, bahwa gagak dapat mematikan orang. Bahkan membunuh orang.
Apa istimewanya si gagak hitam itu? Banyak petugas haji kumintai penjelasannya. Tak banyak yang tahu tentang riwayat gagak. Namun salah seorang petugas pernah menyebut bahwa si gagak ini punya watak kejam.
"Kenapa?" tanyaku.
Ia menjelaskan, gagak itu tergolong binatang raja tega. Disebut demikian, karena begitu telurnya menetas, anaknya tidak diurus. Jika disamakan dengan zaman "now", gagak itu punya kelakuan diskriminatif.
Aku semakin bingung dengan jawaban itu. Gagak disamakan dengan peradaban manusia dan dikaitkan dengan diskriminatif pula. Barulah aku sadar, yang dimaksud diskriminasi adalah ketika telurnya menetas, anaknya tidak diurus. Hanya dilihat dari jauh, tetapi tidak diberi makan.