Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Uang Simpanan, Anak Simpanan, dan Istri Simpanan?

5 Desember 2017   15:36 Diperbarui: 5 Desember 2017   22:54 2341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, para anggota kabinet merasa takut bersinggungan dengan berita memiliki istri simpanan. Sebab, kabarnya, Ibu Tien Soeharto tergolong sensitif dengan yang disebut istri simpanan. Tak heran, jika ada anggota kabinet punya istri simpanan merasa takut dicopot dari jabatannya.

Menjadi istri simpanan, bagi wanita mana pun, sejatinya tidak nyaman. Di negeri ini, bukan hanya di kalangan elite politik tetapi juga bagi orang berpenghasilan "pas-pasan" memiliki istri simpanan. Di kalangan pegawai negeri sipil (PNS), yang kini dikenal sebagai aparatur negeri sipil (ASN), - termasuk guru -ternyata banyak memiliki istri simpanan.

Bisa jadi hal itu terjadi disebabkan Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 sudah dirasakan tak memiliki "wibawa" lagi.

Tidak jarang untuk melampiaskan syahwatnya, yang bersangkutan mengabaikan peraturan dengan melakukan nikah siri. Atas nama hak asasi manusia atau HAM, mereka berargumentasi bahwa UU Perkawinan sudah tak sejalan dengan perkembangan zaman. Nikah siri dari sisi agama dianggap sah. Hanya saja, selama nikah siri, tak tercatat dalam administrasi kependudukan.

Lantas, apakah benar UU itu sudah tak sejalan dengan zaman?

Mencermati UU Perkawinan itu, penulis lalu teringat bahwa di era reformasi persoalan istri simpanan pun makin mengemuka. Masihkah anda ingat keputusan "revolusioner" Mahkamah Konstitusi atau MK ?

Salah satunya adalah menyangkut UU Perkawinan yang memang harus disempurnakan. Publik masih kuat ingatannya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar. Keputusan itu menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.

MK menyatakan, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" bertentangan dengan UUD 1945.

Kemudian, MK juga menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Pedangdut era 1980-an, Machica Mochtar, istri siri mendiang mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono itu menggugat Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ke MK.

Machica meminta dua pasal itu dihapus, karena dirinya merasa dirugikan, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan. Menurut Machica, tak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun