Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Uang Simpanan, Anak Simpanan, dan Istri Simpanan?

5 Desember 2017   15:36 Diperbarui: 5 Desember 2017   22:54 2341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Thinkstock

"Kalau gitu, anak simpanan ibunya siapa?""Kalau punya uang simpanan, harusnya dikasih ke istri simpanan ya?""Untuk ibu Anto, dapat uang simpanan, dong?"

Tiga penggal kalimat pertanyaan dari bocah kecil ini mengagetkan penulis kala bertandang ke kediaman teman di kawasan Cilegon, Banten. Bocah bernama Anto itu tengah mendampingi ibunya menerima kami sebagai tamu.

Pembicaraan antara tuan rumah dan sang tamu makin hangat, lantaran menyinggung nasib guru yang sudah ikut program sertifikasi profesi guru. Maklum peringatan hari guru masih terasa hangat. Terlebih tuan rumah juga berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah lanjutan atas negeri di kota tersebut.

Jika dahulu para guru banyak menyuarakan dana sertifikasi belum dibayar, tetapi sekarang ini mereka diam-diam menyimpan dana sertifikasi yang diterima untuk menikah (siri) lagi yang kemudian dikenal sebagai istri simpanan.

Nah, di sinilah Anto --yang baru duduk di kelas satu sekolah lanjutan pertama-- itu ikut nimbrung pembicaraan orang tua. Untungnya, si tuan rumah yang juga sebagai pengajar dengan bijaksana dapat mengalihkan perhatian puteranya ke hal lain. Ia diajak ke ruang tengah lalu disiapkan komputer untuk bermain dengan tayangan kesenangannya.

Beranjak dari pembicaraan itu, penulis mendapat bocoran bahwa kini para guru setelah menerima dana sertifikasi menikah (siri) lagi. Sayang, hingga kini penulis belum mendapat data lengkap. Namun informasi tentang guru punya istri simpanan janganlah dikesempingkan begitu saja. Para pemangku kepentingan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama sudah sepantasnya memberi perhatian.

Maksudnya, jangan sampai memadamkan api kala sudah membesar. Sebab, nasib anak didik ke depan juga ikut ditentukan peran guru sebagai pendidiknya.

Ilustrasi, selingkuh dan istri simpanan. Foto | Inilah.com
Ilustrasi, selingkuh dan istri simpanan. Foto | Inilah.com
Harus dipahami bahwa peradaban manusia dari era "kuda gigit besi" hingga zaman dunia maya, hingga "zaman now" selalu "dihiasi" persoalan selingkuh dan istri simpanan.

Siapa pun tahu bahwa persoalan istri simpanan sering didiskusikan secara terbuka. Akan semakin terasa hangat dibicarakan jika istri simpanan terkait pemiliknya seorang "penggede".

Penulis punya pengalaman di era Orde Baru, mengungkap penggede punya istri simpanan, pimpinan sempat mengingatkan karena pejabat bersangkutan telah memberi sinyal untuk mengambil tindakan di luar hukum. Weleh... seru deh.

Jadi, bukan rahasia umum lagi pers merasa tak punya "gigi" mengungkap pejabat punya istri simpanan jika hal itu melibatkan anggota kabinet saat itu. Kalaupun diungkap, pers bersangkutan menyamarkan nama istri simpanan dan tak menyebut siapa penggede yang dimaksud.

Kemudian, jadilah istri simpanan menjadi pembicaraan hangat di kalangan publik secara sembunyi-sembunyi. Desas-desus pun merebak. Namun para pelaku pemilik istri simpanan "adem ayem" alias tenang tak merasa terusik dengan pembicaraan para wanita yang lebih meyakini berita desas-desus.

Dulu, para anggota kabinet merasa takut bersinggungan dengan berita memiliki istri simpanan. Sebab, kabarnya, Ibu Tien Soeharto tergolong sensitif dengan yang disebut istri simpanan. Tak heran, jika ada anggota kabinet punya istri simpanan merasa takut dicopot dari jabatannya.

Menjadi istri simpanan, bagi wanita mana pun, sejatinya tidak nyaman. Di negeri ini, bukan hanya di kalangan elite politik tetapi juga bagi orang berpenghasilan "pas-pasan" memiliki istri simpanan. Di kalangan pegawai negeri sipil (PNS), yang kini dikenal sebagai aparatur negeri sipil (ASN), - termasuk guru -ternyata banyak memiliki istri simpanan.

Bisa jadi hal itu terjadi disebabkan Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 sudah dirasakan tak memiliki "wibawa" lagi.

Tidak jarang untuk melampiaskan syahwatnya, yang bersangkutan mengabaikan peraturan dengan melakukan nikah siri. Atas nama hak asasi manusia atau HAM, mereka berargumentasi bahwa UU Perkawinan sudah tak sejalan dengan perkembangan zaman. Nikah siri dari sisi agama dianggap sah. Hanya saja, selama nikah siri, tak tercatat dalam administrasi kependudukan.

Lantas, apakah benar UU itu sudah tak sejalan dengan zaman?

Mencermati UU Perkawinan itu, penulis lalu teringat bahwa di era reformasi persoalan istri simpanan pun makin mengemuka. Masihkah anda ingat keputusan "revolusioner" Mahkamah Konstitusi atau MK ?

Salah satunya adalah menyangkut UU Perkawinan yang memang harus disempurnakan. Publik masih kuat ingatannya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar. Keputusan itu menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.

MK menyatakan, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" bertentangan dengan UUD 1945.

Kemudian, MK juga menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Pedangdut era 1980-an, Machica Mochtar, istri siri mendiang mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono itu menggugat Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ke MK.

Machica meminta dua pasal itu dihapus, karena dirinya merasa dirugikan, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan. Menurut Machica, tak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.

Terkait dengan istri simpanan, termasuk nikah siri, mut'ah, beberapa tahun lalu, di kalangan para praktisi hukum, ulama, aktivis HAM dan kalangan akademi memberikan reaksi beragam begitu mendengar Rancangan Undang-Undang Materiil (RUU) Peradilan Agama yang berkaitan dengan pemberian sanksi pidana.

Pro dan kontra berkepanjangan di berbagai media massa. Esensi polemik itu menyangkut bahwa pemerintah tak perlu terlalu jauh mengatur wilayah privasi seseorang.

Nah, kalau gitu, di mana peran Kementerian Agama?

Di era digital sekarang, pembicaraan istri simpanan itu makin terbuka. Karena itu jangan heran anak kecil, yang memiliki pikiran kritis, akan melontarkan pertanyaan seperti di atas.

Prihal uang simpanan, istri simpanan dan anak simpanan ke depan memang perlu mendapat porsi dari pemerintah untuk menjelaskan kepada publik. Penting disosialisasikan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan, budaya dan etika setempat dan strata usia: anak, dewasa (akil balig) dan matang untuk berumah tangga.

Tentu saja menjelaskan hal ini sangat mulia dan penting. Tidak perlu merasa berat hati. Tetapi (jangan-jangan) sulit dilakukan karena memang sudah punya "simpanan" ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun