Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

MK Memberi Penegasan Agama Leluhur Diakui

7 November 2017   22:01 Diperbarui: 8 November 2017   14:11 5185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pro dan kontra tentang penganut kepercayaan boleh atau tidak mengisi kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) berakhir sudah, meski persoalan serupa berikutnya masih menanti untuk segera dituntaskan.

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat, Selasa (7/11/2017) menyatakan, mengabulkan permohonan para penganut kepercayaan yang menggugat aturan pengosongan kolom agama di KTP-el.

"Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Selasa (7/11/2017).

Keputusan MK ini adalah langkah baru dalam urusan pembenahan kependudukan di Tanah Air. Sebab, melalui keputusan itu, para penganut kepercayaan bisa mengisi kolom agama di KTP-el.

MK mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata "agama" yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk "kepercayaan".

Majelis hakim menyatakan kata "agama" dalam pasal 61 Ayat (1) serta pasal 64 ayat (1) UU No. 23/2006 tentang Adminduk bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat orang pemohon. Mereka adalah Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Majelis hakim berkeyakinan pasal 61 ayat (2) dan 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD 45 dan tidak punya kekuatan hukum.

Pasal-pasal itu bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Itu karena dalam rumusannya tertulis, Kartu Keluarga (KK) dan KTP-el memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan.

Para pemerhati hak asasi manusia (HAM) sudah lama mencermati bahwa ketentuan pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan telah menyebabkan terlanggarnya hak-hak dasar penganut kepercayaan. Hal ini adalah sebuah wujud diskriminasi.

Lagi pula pengosongan kolom yang diatur dalam UU itu justru tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil bagi para penganut kepercayaan. Jelas saja ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian penafsiran yang menimbulkan penganut kepercayaan kesulitan memperoleh KK dan KTP-el.

Kasus ini sejatinya tidak boleh terjadi, karena telah menimbulkan kerugian konstitusional. Sebab, secara administratif, identitas sebagai warga negara tak tercatat. Ujungnya, bermuara pada kesulitan untuk mendapat pelayanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan seterusnya.

Kini para penganut kepercayaan dapat mencantumkan kolom agama di KTP-el dengan tulisan "penghayat kepercayaan". Harapannya tertib administrasi kependudukan segera terwujud.

***

Apakah itu sudah menyelesaikan kasus di lapangan?

Tentu jawabnya belum. Sebab, di lapangan ada proses yang membutuhkan waktu dan harus dibenahi. Namun keputusan MK itu wajib diindahkan dan harus ditindaklanjuti di lapangan. Dukungan kepatuhan aparat sipil negara (ASN) sebagai pelayanan terdepan publik harus disertai pemahaman yang benar tentang keputusan MK yang baru itu.

Ini adalah momentum tepat untuk membenahi data kependudukan yang berkaitan dengan agama. Mengingat lagi data keagamaan, termasuk di dalamnya rumah ibadah dan pemeluk agama-agama masih tumpang tindih. Karena data tak lengkap, sulit rasanya memetakan persoalan keagamaan tatkala dicarikan solusinya.

Sebagai contoh. Bagi pemeluk Khonghucu bisa jadi di dalam kolom agama KTP-el tercatat sebagai Buddha atau sebaliknya. Atau bisa jadi pemeluk penghayat kepercayaan tercatat sebagai Islam. Artinya, praktek agama dalam keseharian tidak sesuai dengan yang tercatat di KTP-el. Itu bisa terjadi lantaran berbagai hal. Antara lain, orang bersangkuan takut kehilangan sebagai warga negara dan kesulitan lainnya, seperti mencari kerja dan seterusnya.

Di Kota Singkawang, banyak umat Buddha yang tercatat dalam KTP-el tetapi dalam praktek lebih banyak sebagai pemeluk Khonghucu. Di daerah lain, pasti ditemukan hal serupa meski tidak sama persis.

***

Lantas, bagaimana pula dengan Ahmadiyah yang tetap "keukeuh" menyatakan diri sebagai pemeluk Islam. Di sisi lain, mayoritas Islam di Tanah Air menilai pengikut Mirza Ghulam Ahmad itu sebagai kelompok di luar Islam.

Pasal 28e dan 29 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin kebebasan bagi tiap penduduknya untuk memeluk agama masing-masing. Lantas, mengapa pengikut Ahmadiyah demikian sulit untuk mengurus KTP-el. Mereka ini juga memiliki hak yang sama, tidak ingin diperlakukan diskriminatif.

Kasus ini banyak terjadi bagi pemeluk Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan. Terakhir, Pemda setempat mensyaratkan ribuan Jemaah Ahmadiyah di Manislor harus menandatangani surat bermaterai yang berisi pengakuan bahwa mereka beragama Islam.

Tentu saja Jemaah Ahmadiyah di Manislor, seperti disampaikan Sekretaris Yayasan Satu Keadilan Syamsul Alam Agus, menolak menandatangani surat bermaterai tersebut karena dianggap sebagai diskriminasi terhadap jemaah Ahmadiyah.

Syarat itu sudah lama diterapkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kuningan sejak 2012 hingga saat ini. Terkait hal ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo angkat bicara. Ia pun tidak mempermasalahkan keberadaan syarat tambahan yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk pencetakan KTP-el Jemaah Ahmadiyah dari Desa Manislor.

Memang, sudah lama diingatkan bahwa penganut kepercayaan Ahmadiyah tidak bisa mengklaim sebagai pemeluk agama Islam, sehingga mereka tak bisa mendapatkan KTP-el yang pada kolom agamanya tertulis Islam.

Jika hendak memiliki KTP-el, Jamaah Ahmadiyah harus mengisi buku data dan mencatumkan bahwa mereka menganut kepercayaan tertentu, dan kolom agama di KTP-el bisa dikosongkan.

Penolakan warga atas surat tersebut diupayakan untuk diselesaikan dengan menggelar dialog. Ombudsman RI dan Dirjen Dukcapil Kemendagri dilibatkan. Hasilnya, entahlah.

Yang jelas, kini eksistensi penghayat kepercayaan diakui negara. Agama impor saja diakui,  tentu agama leluhur juga penting diakui. Soal Ahmadiyah, memang perlu dicarikan solusinya melalui dialog yang kini dirasakan tak pernah berujung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun